BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Masalah sumber
daya manusia adalah masalah yang sangat penting yang menunjang suatu negara,
khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Masalah ini tentunya
tak lepas dari bidang pendidikan yang secara umum diidentikkan dengan
pendidikan formal yang dilaksanakan di sekolah, dan secara langsung
mempengaruhi terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas. Dengan
tersedianya sumber daya yang berkualitas, maka suatu negara akan berkembang
secara optimal.
Salah satu tujuan negara Indonesia dalam pembukaan UUD 1945
alinea IV adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk memperlancar proses
pendidikan maka diperlukan suatu wadah atau lembaga yang disebut sekolah. Di
sekolah setiap siswa di tuntut untuk membekali diri dengan pengetahuan
akademik yang layak sehingga dapat menembus persaingan yang ketat dan
mendapatkan haknya dibidang pendidikan, dan mereka lebih termotivasi untuk
selalu berkembang serta meraih prestasi yang gemilang.
Dengan
mendapatkan prestasi yang gemilang, seseorang akan dikatakan sebagai siswa yang
berhasil dalam menuntut ilmu dan juga akan dicap sebagai sumber daya yang layak
dan berkualitas. Namun disisi lain di jaman sekarang ini banyak siswa yang
meraih prestasi yang gemilang dengan usaha yang negatif, salah satunya
dengan menyontek.
Menyontek dapat
diartikan sebagai perbuatan untuk mencapai suatu keberhasilan dengan jalan yang
tidak sah. Menyontek dapat dilakukan dalam berbagai bentuk antara lain,
menyalin jawaban teman, mengintip buku teks atau catatan saat ulangan, dan
tanya-jawab dengan teman saat ulangan.
Mungkin
menyontek adalah kegemaran kebanyakan siswa. Menyontek adalah salah satu
fenomena yang sering dan bahkan selalu muncul menyertai aktifitas belajar
mengajar sehari-hari. Menyontek seperti telah menjadi kebiasaan para siswa,
tidak hanya di Indonesia di luar negeri pun menyontek telah menjadi budaya yang
dianggap lumrah, tetapi jarang mendapat pembahasan dalam wacana pendidikan kita
di Indonesia.
Kurangnya
pembahasan mengenai menyontek mungkin disebabkan karena kebanyakan pakar
menganggap masalah mengenai menyontek ini adalah hal yang sifatnya sepeleh,
padahal masalah menyontek sesungguhnya merupakan masalah yang sangat penting
dan mendasar karena berpengaruh pada masalah sumber daya manusia.
Mengapa para siswa menyontek? Generalisasinya,
untuk bersaing di sekolah agar mendapatkan prestasi yang baik. Banyak siswa
yang mencontek pada saat menghadapi ujian. Rata-rata nilai yang didapat oleh
para plagiator (orang yang suka mencontek) selalu tinggi dari nilai yang
sebenarnya. Apakah nilai palsu inilah yang akan dipertaruhkannya untuk mengukir
masa depan, Tanpa mengetahui daya atau kemampuan intelektual yang sebenarnya?
Hal inilah yang
membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “BUDAYA
MENYONTEK DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRESTASI SISWA”.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari judul “BUDAYA MENYONTEK DAN
PENGARUHNYA TERHADAP PRESTASI SISWA” dapat di rumuskan masalah:
1.
Apa faktor penyebab siswa menyontek?
2.
Bagaimana pengaruh menyontek terhadap prestasi siswa?
3.
Bagaimana upaya menanggulangi perilaku menyontek ?
C. TUJUAN PENELITIAN
1.
Untuk menjekaskan faktor penyebab siswa menyontek.
2.
Untuk mengetahui pengaruh menyontek terhadap prestasi siswa.
3.
Untuk mengetahui dan menjelaskan upaya menanggulangi perilaku menyontek
D. MANFAAT
PENELITIAN
1. Memberikan pengetahuan
bagi diri sendiri dan juga bagi pelajar lain mengenai menyontek dan pengaruhnya
terhadap prestasi khususnya bagaimana cara menanggulangi perilaku menyontek
sehingga terbentuk perilaku yang jujur dalam belajar serta akan terbentuk
sumber daya yang berkualitas.
2. Sebagai bahan bacaan
bagi guru-guru dan penulis lain yang dapat dijadikan sebagai sumber referensi dan bahan
kepustakaan dalam bidang budaya menyontek serta pengaruhnya terhadap prestasi
siswa.
3. Agar pahak sekolah dan
orang tua siswa mengetahui hal-hal mengenai menyontek dan turut membimbing dan
mendidik para siswa agar tidak melakukan perilaku menyontek tersaebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi ke-3 siswa sama saja dengan murid dan pelajar, yang
berarti orang (anak) yang sedang berguru (belajar, bersekolah).
A. MENYONTEK
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-3 menyontek diartikan sebagai mengutip (tulisan
dan sebagainya) sebagaimana aslinya atau disebut juga dengan menjiplak.
Menyontek memiliki arti yang
beraneka macam, akan tetapi biasanya dihubungkan dengan kehidupan sekolah,
khususnya bila ada ulangan dan ujian. Biasanya usaha menyontek dimulai pada
waktu ulangan dan ujian akan berakhir, namun demikian tidak jarang usaha
tersebut telah dimulai sejak ujian dimulai.
Dalam Kamus
Modern Bahasa Indonesia istilah menyontek memiliki pengertian yang hampir sama
yaitu “ Tiru hasil pekerjaan orang lain”. Maka dapat disimpulkan menyontek
dalam pelaksanaan ujian adalah mengambil jawaban soal – soal ujian dari cara –
cara yang tidak dibenarkan dalam tata tertib ujian seperti : dari buku,
catatan, hasil pemikiran temannya dan media lain yang kemudian disalin pada
lembar jawaban ujian pada saat ujian berlangsung.
Menurut
Deighton (Alhadza, 2004) maksudnya menyontek adalah upaya yang dilakukan
seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara yang tidak fair
(tidak jujur).
Hal senada di
kemukakan oleh Bower (Alhadza, 2004), menyontek adalah perbuatan yang
menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah/terhormat yaitu
untuk mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis.
Dari
teori-teori tentang motivasi, diketahui bahwa cheating atau menyontek
bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi underpressure (dibawah
tekanan), atau apabila dorongan atau harapan untuk berprestasi jauh
lebih besar dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan atai semakin
tinggi prestasi yang diinginkan dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka
semakin besar hasrat dan kemungkinan untuk melakukan perilaku menyontek
(Alhadza, 2004).
Salah satu
faktor yang mempengaruhi siswa menyontek adalah motivasi berkompetisi dalam
prestasi belajar yang ketat. Motivasi Berkompetisi adalah suatu dorongan dalam
diri seseorang untuk memperlihatkan keunggulan masing-masing dan untuk mencapai
sesuatu yang terbaik, mencari pengakuan dan kehormatan diri dari orang lain
dengan cara memperkecil hasi orang lain, menghindari kerjasama, memaksimalkan
hasil pribadi dan menonjolkan diri (Mahzumah, 2004).
Yelon dan
Weinstein (Haryono, dkk) mengatakan bahwa pelajar yang mempresepsikan
intensitas dalam kelasnya tinggi akan terdorong untuk melakukan perilaku
menyontek. Semakin tinggi presepsi pelajar terhadap intensitas kompetisi dalam
kelas, semakin tinggi pula kemungkinan perilaku menyontek yang terjadi. Hal
tersebut terjadi karena kompetisi menimbulkan suatu tekanan atau dorongan dalam
diri setiap siswa untuk mencapai nilai yang tinggi.
Dari beberapa
pengertian menyontek oleh ahli diatas maka penulis secara umum menyimpulkan
bahwa menyontek adalah perbuatan meniru, atau menjiplak pekerjaan orang lain
sesuai dengan aslinya saat ujian yang menyalahi aturan atau pelanggaran yang
terjadi saat ujian.
Ada beberapa
bentuk perilaku menyontek yang dilakukan kebanyakan siswa antara lain: seorang
siswa memindahkan informasi contekan pada kertas kecil, seorang siswa
memberikan bantuan kepada temannya sebagian jawabaan dengan berbagai cara, soal
ujian yang telah bocor kepada sebagian pelajar, membuat catatan kecil terselip
di baju, alat tulis atau meja, mencatat di tangan dan kaki, menggunakan Isyarat
tertentu, serta membuat pengalih perhatian agar pengawas ujian tidak
melihat saat menyontek.
B. BELAJAR
Untuk memahami
tentang pengertian belajar di sini akan diawali dengan mengemukakan beberapa
definisi tentang belajar. Ada beberapa pendapat para ahli tentang definisi
tentang belajar. Cronbach, Harold Spears dan Geoch dalam Sardiman A.M (2005:20)
sebagai berikut :
1)
Cronbach memberikan definisi : “Learning is shown by a change in behavior as a
result of experience”. “Belajar adalah memperlihatkan perubahan dalam perilaku
sebagai hasil dari pengalaman”.
2)
Harold Spears memberikan batasan: “Learning
is to observe, to read, to initiate, to try something themselves, to listen, to
follow direction”. Belajar adalah mengamati, membaca, berinisiasi, mencoba
sesuatu sendiri, mendengarkan, mengikuti petunjuk/arahan.
3)
Geoch, mengatakan : “Learning is a
change in performance as a result of practice”.Belajar adalah perubahan dalam
penampilan sebagai hasil praktek.
Dari ketiga
definisi diatas dapat disimpulkan bahwa belajar itu senantiasa merupakan
perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya
dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Juga
belajar itu akan lebih baik kalau si subyek belajar itu mengalami atau
melakukannya, jadi tidak bersifat verbalistik. Belajar sebagai kegiatan
individu sebenarnya merupakan rangsangan-rangsangan individu yang dikirim
kepadanya oleh lingkungan. Dengan demikian terjadinya kegiatan belajar yang
dilakukan oleh seorang idnividu dapat dijelaskan dengan rumus antara individu
dan lingkungan.
Fontana seperti
yang dikutip oleh Udin S. Winataputra (1995:2) dikemukakan bahwalear ning
(belajar) mengandung pengertian proses perubahan yang relative tetap dalam
perilaku individu sebagai hasil dari pengalaman. Pengertian belajar juga
dikemukakan oleh Slameto (2003:2) yakni belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya.
Selaras dengan
pendapat-pendapat di atas, Thursan Hakim (2000:1) mengemukakan bahwa belajar
adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan
tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah
laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman,
keterampilan, daya pikir, dll. Hal ini berarti bahwa peningkatan kualitas dan
kuantitas tingkah laku seseorang diperlihatkan dalam bentuk bertambahnya
kualitas dan kuantitas kemampuan seseorang dalam berbagai bidang. Dalam proses
belajar, apabila seseorang tidak mendapatkan suatu peningkatan kualitas dan
kuantitas kemampuan, maka orang tersebut sebenarnya belum mengalami proses
belajar atau dengan kata lain ia mengalami kegagalan di dalam proses belajar.
Belajar yang
efektif dapat membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan yang diharapkan
sesuai dengan tujuan instruksional yang ingin dicapai. Untuk meningkatkan
prestasi belajar yang baik perlu diperhatikan kondisi internal dan eksternal.
Kondisi internal dalah kondisi atau situasi yang ada dalam diri siswa, seperti
kesehatan, keterampilan, kemapuan dan sebaginya. Kondisi eksternal adalah
kondisi yang ada di luar diri pribadi manusia, misalnya ruang belajar yang
bersih, sarana dan prasaran belajar yang memadai.
C. PRESTASI SISWA
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-3 prestasi diartikan sebagai sesuatu yang telah
dicapai atas segala sesuatu yang telah dilakukan atau dikerjakan. Sedangkan
berprestasi berarti mempunyai prestasi dalam suatu hal dari segala sesuatu yang
telah dulakukan atau dukerjakan.
Prestasi belajar adalah hasil yang
dicapai oleh seseorang setelah ia melakukan perubahan belajar, baik di sekolah
maupun di luar sekolah. Di dalam webster’s New Internasional Dictionary
mengungkapkan tentang prestasi yaitu: “Achievement test a standardised test
for measuring the skill or knowledge by person in one more lines of work a
study” (Webster’s New Internasional Dictionary, 1951 : 20). Mempunyai arti
kurang lebih prestasi adalah standar tes untuk mengukur kecakapan atau
pengetahuan bagi seseorang didalam satu atau lebih dari garis-garis pekerjaan
atau belajar. Dalam kamus populer prestasi ialah hasil sesuatu yang telah
dicapai (Purwodarminto, 1979 : 251).
Muray dalam
Beck (1990 : 290) mendefinisikan prestasi sebagai berikut :
“To
overcome obstacle, to exercise power, to strive to do something difficult as
well and as quickly as possible”. “Kebutuhan untuk prestasi adalah mengatasi
hambatan, melatih kekuatan, berusaha melakukan sesuatu yang sulit dengan baik
dan secepat mungkin”.
Prestasi adalah
hasil yang telah dicapai seseorang dalam melakukan kegiatan. Gagne (1985:40)
menyatakan bahwa prestasi belajar dibedakan menjadi lima aspek, yaitu :
kemampuan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, sikap dan
keterampilan. Menurut Bloom dalam Suharsimi Arikunto (1990:110) bahwa hasil
belajar dibedakan menjadi tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Menurut Drs. H.
Abu Ahmadi menjelaskan Pengertian Prestasi Belajar sebagai berikut:
Secara teori bila sesuatu kegiatan dapat memuaskan suatu kebutuhan, maka ada
kecenderungan besar untuk mengulanginya. Sumber penguat belajar dapat secara
ekstrinsik (nilai, pengakuan, penghargaan) dan dapat secara ekstrinsik
(kegairahan untuk menyelidiki, mengartikan situasi). Disamping itu
siswa memerlukan/ dan harus menerima umpan balik secara langsung derajat sukses
pelaksanaan tugas (nilai raport/nilai test) (Psikologi Belajar DRS.H Abu
Ahmadi, Drs. Widodo Supriyono 151).
Winkel
(1996:226) mengemukakan bahwa prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan
yang telah dicapai oleh seseorang. Maka prestasi belajar merupakan hasil
maksimum yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar.
Sedangkan menurut Arif Gunarso (1993 : 77) mengemukakan bahwa prestasi belajar
adalah usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan
usaha-usaha belajar.
S. Nasution
berpendapat bahwa prestasi belajar merupakan kesempurnaan seorang peserta didik dalam berpikir,
merasa dan berbuat. S. Nasution (1996).
Prestasi
belajar di bidang pendidikan adalah hasil dari pengukuran terhadap peserta didik
yang meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah mengikuti proses
pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes atau instrumen yang
relevan. Jadi prestasi belajar adalah hasil pengukuran dari penilaian usaha
belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, huruf maupun kalimat yang
menceritakan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak pada periode tertentu.
Prestasi belajar merupakan hasil dari pengukuran terhadap peserta didik yang
meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah mengikuti proses
pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes yang relevan.
Prestasi
belajar dapat diukur melalui tes yang sering dikenal dengan tes prestasi
belajar. Menurut Saifudin Anwar (2005 : 8-9) mengemukakan tentang tes prestasi
belajar bila dilihat dari tujuannya yaitu mengungkap keberhasilan sesorang
dalam belajar. Testing pada hakikatnya menggali informasi yang dapat digunakan
sebagai dasar pengambilan keputusan. Tes prestasi belajar berupa tes yang
disusun secara terrencana untuk mengungkap performasi maksimal subyek dalam
menguasai bahan- bahan atau materi yang telah diajarkan. Dalam kegiatan
pendidikan formal tes prestasi belajar dapat berbentuk ulangan harian, tes
formatif, tes sumatif, bahkan ebtanas dan ujian-ujian masuk perguruan tinggi.
Daari
beberapa definisi diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian prestasi
belajar
ialah hasil usaha bekerja atau belajar yang menunjukan ukuran kecakapan yang
dicapai dalam bentuk nilai. Sedangkan prestasi belajar hasil usaha belajar yang
berupa nilai-nilai sebagai ukuran kecakapan dari usaha belajar yang telah
dicapai seseorang, prestasi belajar ditunjukan dengan jumlah nilai raport atau test
nilai sumatif.
BAB III
PEMBAHASAN
A. PENYEBAB
SISWA MENYONTEK
Banyak siswa
yang tergiur untuk menyontek meskipun hanya sekali. Beberapa anak setelah
menyontek sekali merasa bersalah dan tidak mengulanginya lagi, sementara
beberapa anak yang lain bisa ketagihan dan merasa hal ini sangat berguna.
Sayangnya, beberapa anak yang sudah mulai mencontek susah untuk berhenti.
Berdasarkan beberapa penelitian,
penulis mengakategorikan empat faktor yang mempengaruhi perilaku menyontek,
yaitu faktor situasional, faktor disposisional, faktor personal, dan faktor
eksternal.
1. Faktor situasional
a. Orientasi tujuan
Penelitian
Newstead, dkk. menunjukkan bahwa mengejar nilai yang tinggi merupakan faktor
pendorong bagi pelajar untuk menyontek.[1] Para pendidik sering
terkadang menekankan pelajar untuk memperoleh nilai dan peringkat akademis
daripada pemahaman materi pelajaran,[2] orang tua yang ingin anaknya
meraih prestasi tinggi, ada yang menyadari kemampuan anaknya tidak terlalu baik
sehingga tidak terlalu menuntut nilai tinggi, tetapi tetapmemberikan motivasi
untuk berprestasi lebih baik, ada juga orang tua yang memahami kemampuan
anaknya pas-pasan tetap menuntut prestasi tinggi demi gengsi dan kebanggaan, sehingga
anak diamarahi jika mendapat nilai jelek.[3] Keller melaporkan bahwa 69%
siswa menyebutkan tekanan pada nilai tinggi merupakan alasan kuat menyontek.[4]
b. Kontrol atau
pengawasan selama ujian
Jika suasana
pengawasan ketat, maka kecenderungan menyontek kecil, sebaliknya jika suasana
pengawasan longgar, maka kecenderungan menyontek menjadi lebih besar. Para
pelajar berfikir bahwa pengawasan yang longgar dan kemungkinan kecil akan
diketahui oleh pengawas berpengaruh besar terhadap keputusan untuk menyontek.
Menurut Carolli bahwa siswa menyontek karena merasa perbutannya tidak akan
diketahui oleh pengawas.[5]
c. Banyaknya jumlah
siswa dalam kelas
Padatnya populasi
dalam satu kelas akan memudahkan pelajar menyontek. Jika kelas yang seperti ini
menggunakan soal pilihan ganda akan memberikan peluang terjadinya menyontek.[6] Pengaturan tempat duduk juga
akan sangat mempengaruhi kemungkinan terjadinya menyontek.[7]
d. Kurikulum
Menyontek
dipandang sebagai suatu bentuk strategi dalam menghadapi tuntutan kurikulum
sekolah.[8] Ketika pelajar mengalami
kesulitan dalam memahami dan menyerap materi pelajaran dan beban materi
pelajaran yang harus dipelajari terlalu berat, maka beberapa pelajar pesimis
dan terpaksa mencari jalan keluar dengan cara menyontek.[9]
e. Pengaruh teman sebaya
Munculnya
perilaku menyontek juga sangat ditentukan fatkor teman sebaya. Bila dalam kelas
terdapat beberapa anak yang menyontek akan mempengaruhi anak yang lain untuk
menyontek juga. Pada awalnya seseorang tidak bermaksud menyontek, tetapi karena
melihat temannya menyontek, maka merekapun ikut menyontek.[10]
f. Soal tes yang sulit
Praktek kecurangan
atau menyontek terjadi karena terlalu sulitnya tugas yang diberikan, sulitnya
soal yang dihadapi membuat pelajar merasa bahwa kemungkinan gagal akan sangat
besar, untuk menghindarihal tersebut mereka rela melakukan tindakan menyontek.[11]
g. Ketidaksiapan
mengikuti ujian
Salah
satu alasan yang membeut siswa tidak siap menhadapi ujian adalah kemalasan
untuk belajar secara teratur dan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Selain
itu, kebiasaan belajar hanya ketika mau ujian. Akibat sistem belajar
yang seperti itu maka siswa tidak mampu menguasai seluruh materi yang akan
diujikan secara optimal, sehingga lebih mengandalkan menyontek.[12]
2. Faktor disposisional
a. Iklim akademis
sekolah
Pada umumnya peneliti meyakini bahwa
iklim di sekolah ataupun Perguruan Tinggi telah mengikis pernyataan 'siapa yang
menyontek akan mendapat hukuman'. Kurangnya perhatian dari sekolah dan
Perguruan Tinggi terhadap menyontek mengakibatkan pelajar menyimpulkan bahwa
kalau tidak menyontek berarti mereka terlalu bodoh karena tidak memanfaatkan
kesempatan.[13]
b.
Intelegensi
Penelitian Eisenberger dan Shank
menunjukkan bahwa siswa yang berintelegensi lebih rendah lebih sering menyontek
dari pada yang berintelegensi tinggi. Selain itu, siswa yang beretika kerja
personal tinggi lebih cenderung mampu menahan diri untuk tidak menyontek
daripada mereka dengan etika kerja personal rendah.[14]
3. Faktor personal
a. Kurang percaya diri
Siswa
atau mahasiswa yang menyontek memiliki kepercayaan diri yang minimal terhadap
kemampuan diri sendiri. Oleh karena itu, mereka akan berusaha mencari penguat
dari pihak lain seperti teman-temannya dengan cara bertanya, atau bisa juga
dari buku-buku catatan yang telah dipersiapkan sebelumnya.[15]
b. Self-esteem dan need
for approval
Menurut
Lobel dan Levanon, kecil kemungkinannya untuk menyontek bagi siswa
dengan self-esteem tinggi dan need for approval yang
rendah. Akan tetapi, bagi siswa yang memiliki self-esteem dan need
for approval yang sama-sama tinggi kemungkinan akan menyontek seperti
halnya siswa yang memiliki self-esteem yang rendah.[16]
c. Katakutan terhadap
kegagalan
Sumber
utam ketakutan terhadap kegagalan adalah ketidaksiapan menghadapi ujian tetapi
yang bersangkutan tidak mau menundanya dan juga tidak mau gagal.[17] Selain itu diperkuat pengalaman
kegagalan pada tes-tes sebelumnya. Menurut Vitro dan Schoer kegagalan dalam
suatu tes lebih sering diikuti oleh tindakan menyontek pada tes berikutnya bila
dibandingkan dengan keberhasilan.[18]
d. Kompetisi dalam
memperoleh nilai dan peringkat akademis
Hasil
penelitian Burns dkk. menunjukkan bahwa persaingan dalam memperolah nilai yang
tinggi dan peringkat yang tinggi memicu terjadinya menyontek.[19] Nilai yang tinggi akan
berpengaruh pada peringkat akademis di kelas dan pering kat akademis di kelas
dapat meningkatkan citra diri siswa. Oleh karena itu, mereka berusaha mencari
jalankeluar dengan cara menyontek agar dapat mempertahankan citra diri yang
positif.
4. Faktor eksternal
a. Jenis kelamin
Beberapa
hasil penelitian tentang hubungan gender dengan menyontek cenderung tidak
konsisten. Perempuan cenderung lebih sedikit menyontek dibandingkan dengan
laki-laki. Akan tetapi, beberapa penelitian menemukan korelasi yang sangat
lemah diantranya. Hasil penelitian yang dilakukan Davis dkk. menunjukkan bahwa
laki-laki lebih banyak menyontek dari pada perempuan. Pada umumnya perempuan
merasakan belajar senagai hal yang menyenangkan dan memberi kepuasan sehingga
tidak suka menyontek.[20]
b. Usia
Faktor
usia sebenarnya tidak terlalu berperan dalam kemungkinan seseorang menyontek.[21] Tetapi menurut Newstead dkk.
bahwa mahasiswa dengan usia yang lebih muda lebih sering menyontek dari pada
siswa dengan usia yang lebih tua.[22]
c. Peringkat atau nilai
Perilaku
menyontek seringkali dikaitkan dengan nilai atau peringkat. Menurut Witley
siswa dengan nilai lebih rendah kemungkinan lebih besar menyontek daripada
siswa yang memiliki nilai tinggi.[23] Meski demikian beberapa
penelitian lain diketahui bahwa nilai atau peringkat sering berkorelasi
negative dengan perilaku menyontek.
d. Moralitas
Penilain
moral dipahami sebagai kemampuan seseorang untuk menilai suatu tindakan dari
sudut pandang kebaikan, keburukan, kebenaran, dan kesalahan serta memutuskan
apa yang seharusnya dilakukan berdasarkan penilaian yang telah dilakukan.
Permasalahannya bahwa keputusan yang telah dibuat tidak selalu diikuti oleh
tindakan yang sesuai dengan keputusan tersebut.[24]
B. Dampak
Menyontek dan Pengaruh budaya menyontek terhadap prestasi siswa
Ø Dampak
- dampak Menyontek
Menurut Bandura (dalam Vegawati, Oki dan Noviani, 2004), fungsi psikologis merupakan hubungan timbal balik yang interdependen dan berlangsung terus menerus antara faktor individu, tingkah laku, dan lingkungan. Dalam hal ini, faktor penentu tingkah laku internal ( keyakinan dan harapan), serta faktor penentu eksternal ( "hadiah" dan "hukuman") merupakan bagian dari sistem pengaruh yang saling berinteraksi. Proses interaksi yang terjadi dalam individu terdiri dari empat proses, yaitu atensi, retensi, reproduksi motorik, dan motivasi.
Menurut Vegawati, Oki dan Noviani, (2004), Pada saat dorongan tingkah laku menyontek muncul, terjadilah proses atensi, yaitu muncul ketertarikan terhadap dorongan karena adanya harapan mengenai hasil yang akan dicapai jika ia menyontek. Pada proses retensi, faktor-faktor yang memberikan atensi terhadap stimulus perilaku menyontek itu menjadi sebuah informasi baru atau digunakan untuk mengingat kembali pengetahuan maupun pengalaman mengenai perilaku menyontek, baik secara maya (imaginary) maupun nyata (visual).
Proses selanjutnya adalah reproduksi motorik, yaitu memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya mengenai perilaku menyontek untuk memprediksi sejauh mana kemampuan maupun kecakapannya dalam melakukan tingkah laku menyontek tersebut. Dalam hal ini, ia juga mempertimbangkan konsekuensi apa yang akan ia dapatkan jika perilaku tersebut muncul. Dalam proses ini, terjadi mediasi dan regulasi kognitif, di mana kognisi berperan dalam mengukur kemungkinan-kemungkinan konsekuensi apa yang akan diterimanya bila ia menyontek.
Dari teori-teori tentang motivasi, diketahui bahwa cheating bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi underpressure, atau apabila dorongan atau harapan untuk berprestasi jauh lebih besar dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan atau semakin tinggi prestasi yang diinginkan dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka semakin besar hasrat dan kemungkinan untuk melakukan cheating. Dalam hal seperti itu maka, perilaku cheating tinggal menunggu kesempatan atau peluang saja, seperti kita dengar iklan di televisi mengatakan tentang teori kriminal bahwa kejahatan akan terjadi apabila bertemu antara niat dan kesempatan.
Pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan adalah nilai-nilai agama yang akan memunculkan perasaan bersalah dan perasaan berdosa, kepuasan diri terhadap "prestasi" akademik yang dimilikinya, dan juga karena sistem pengawasan ujian, kondusif atau tidak untuk menyontek. Masalah kepuasan "prestasi" akademik juga akan menjadi sebuah konsekuensi yang mungkin menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk menyontek. Bila ia menyontek, maka ia menjadi tidak puas dengan hasil yang diperolehnya.
Yesmil Anwar (dalam Rakasiwi, 2007) mengatakan, sebenarnya nilai hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Karena pendidikan sejatinya adalah sebuah proses manusia mencari pencerahan dari ketidaktahuan. Yesmil Anwar mengungkapkan, bahwa menyontek telanjur dianggap sepele oleh masyarakat. Padahal, bahayanya sangat luar biasa. Bahaya buat si anak didik sekaligus untuk masa depan pendidikan Indonesia. Ibarat jarum kecil di bagian karburator motor. Sekali saja jarum itu rusak, mesin motor pun mati.
Dampak yang timbul dari praktek menyontek yang secara terus menerus dilakukan akan mengakibatkan ketidakjujuran Jika tidak, niscaya akan muncul malapetaka: peserta didik akan menanam kebiasaan berbuat tidak jujur, yang pada saatnya nanti akan menjadi kandidat koruptor. (Poedjinoegroho, 2006)
Pengajaran yang orientasinya siswa mampu menjawab soal dan bukan pada pengertian serta pengembangan inovasi dan kreatifitas siswa akan menumbuhkan kebosanan, kejenuhan, suasana monoton yang dapat berakibat stress. Sudah waktunya sistem pendidikan kita bersifat two way communication antara guru dan siswa. Kelompok kerja makalah, presentasi, pembuatan alat peraga, studi lapangan (misalnya ke pabrik salah satu orang tua siswa) kiranya lebih digiatkan daripada menimbuni siswa dengan soal-soal yang banyak tapi dikerjakan dengan menyontek. (Widiawan,1995).
Jika masalah menyontek ini masih saja dianggap sepele oleh semua orang, tidak akan respon dan tanggapan dari guru, kepala sekolah, pengawas, dinas pendidkan para pakar pendidikan dan pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, penulis pesimis dunia pendidikan akan maju, kreatifitas siswa akan hilang yang tumbuh mungkin orang-orang yang tidak jujur yang bekerja disemua sektor kehidupan.
Beralih kembali ke permasalahan kebiasaan menyontek dalam konteks masyarakat ialah tidak adanya penerapan budaya malu dalam menyontek. Pendidik atau guru pada saat terjebak dengan pandangan penerapan budaya malu dengan penerapan mempermalukan. Hal ini terlihat dengan adanya konsekuensi yang biasa diberikan kepada pelaku dengan mempermalukan di depan teman-temannya yang lain atau lingkungan lain atas tindakan menyontek. Penerapan budaya malu lebih kepada upaya brain washing untuk mendoktrin setiap orang bahwa menyontek adalah upaya yang sangat memalukan dan tidak memerlukan sebuah hukuman langsung terhadap pelaku. Setiap orang yang ingin menyontek akan merasa bahwa setiap orang bahkan dirinya sendiri akan mengawasi dan menghakiminya ketika dia menyontek. Suatu ironi hal ini tidak berlaku dalam masyarakat kita yang dikenal dengan mitos masyarakat yang santun, ramah, bermoral dll.
Pandangan di atas menghilangkan faktor individu sebagai sebuah permasalahan seperti pandangan bahwa seseorang menyontek karena ketidaksiapan dalam menghadapi ujian, adanya sifat pemalas pada individu maupun pandangan-pandangan lain yang lebih mengarah pada penghakiman terhadap individu. Hal ini dikarenakan penulis menyepakati sebuah anggapan bahwa bagaimanapun sebuah sistem jauh lebih penting dari pada pelaku sistem itu sendiri, pertama karena pelaku sistem adalah bagian dari sistem itu sendiri dan kedua adalah sebaik-baiknya pelaku sistem pasti akan menyesuaikan diri dengan sistem itu sendiri.
Lewis R. Aiken dalam Admin (2004) melaporkan bahwa kecenderungan melakukan ”menyontek” di Amerika Serikat meningkat sehingga tidak saja memprihatinkan dunia pendidikan tetapi juga telah menjadi bagian keprihatinan kalangan politisi. Dikatakan bahwa kasus ”menyontek” tidak hanya melibatkan siswa sebagai individu pelaku tetapi ”menyontek” disinyalir telah dilakukan oleh institusi pendidikan dengan melibatkan pejabat-pejabat pendidikan seperti guru, superintendant, school districtst dll. Pada penelitian Aiken yang ditujukan kepada kasus CAP dan CTBS (California Achievement Program dan California Test for Basic Skills), suatu ujian yang diselenggarakan oleh lembaga independen ditemukan bahwa alasan siswa melakukan ”menyontek” karena adanya tekanan yang dirasakan oleh siswa dari orang tuanya, kelompoknya, guru, dan diri mereka sendiri untuk mendapatkan nilai tinggi. Selanjutnya, alasan bagi pejabat pendidikan untuk membantu siswa dalam mengerjakan tes atau mengubah jawaban yang salah dengan jawaban yang benar sebelum lembaran jawaban diserahkan kepada lembaga penyelenggara, adalah karena hal itu menyangkut reputasi sekolah, menyangkut anggaran pendidikan yang akan dibayar oleh masyarakat. Hal itu terjadi karena hasil tes tidak saja mengevaluasi kemampuan individual siswa tetapi juga mengevaluasi reputasi dan kompetensi guru, kepala sekolah, dan pejabat pendidikan lainnya yang memiliki akuntabilitas langsung kepada masyarakat, politisi, dan kalangan bisnis.
Terlepas dari semua itu, banyak siswa yang mengakui bahwa mereka menyontek pasda saat tidak tahu jawaban dari soal-soal yang diberikan oleh guru dan termasuk saat ulangan berlangsung. Pada dasarnya koesioner tidak menyadari bahwa ketidakmapuan mereka menjawab soal ujian merupakan salah satu faktor penyebab mereka menyontek.
Menurut Bandura (dalam Vegawati, Oki dan Noviani, 2004), fungsi psikologis merupakan hubungan timbal balik yang interdependen dan berlangsung terus menerus antara faktor individu, tingkah laku, dan lingkungan. Dalam hal ini, faktor penentu tingkah laku internal ( keyakinan dan harapan), serta faktor penentu eksternal ( "hadiah" dan "hukuman") merupakan bagian dari sistem pengaruh yang saling berinteraksi. Proses interaksi yang terjadi dalam individu terdiri dari empat proses, yaitu atensi, retensi, reproduksi motorik, dan motivasi.
Menurut Vegawati, Oki dan Noviani, (2004), Pada saat dorongan tingkah laku menyontek muncul, terjadilah proses atensi, yaitu muncul ketertarikan terhadap dorongan karena adanya harapan mengenai hasil yang akan dicapai jika ia menyontek. Pada proses retensi, faktor-faktor yang memberikan atensi terhadap stimulus perilaku menyontek itu menjadi sebuah informasi baru atau digunakan untuk mengingat kembali pengetahuan maupun pengalaman mengenai perilaku menyontek, baik secara maya (imaginary) maupun nyata (visual).
Proses selanjutnya adalah reproduksi motorik, yaitu memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya mengenai perilaku menyontek untuk memprediksi sejauh mana kemampuan maupun kecakapannya dalam melakukan tingkah laku menyontek tersebut. Dalam hal ini, ia juga mempertimbangkan konsekuensi apa yang akan ia dapatkan jika perilaku tersebut muncul. Dalam proses ini, terjadi mediasi dan regulasi kognitif, di mana kognisi berperan dalam mengukur kemungkinan-kemungkinan konsekuensi apa yang akan diterimanya bila ia menyontek.
Dari teori-teori tentang motivasi, diketahui bahwa cheating bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi underpressure, atau apabila dorongan atau harapan untuk berprestasi jauh lebih besar dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan atau semakin tinggi prestasi yang diinginkan dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka semakin besar hasrat dan kemungkinan untuk melakukan cheating. Dalam hal seperti itu maka, perilaku cheating tinggal menunggu kesempatan atau peluang saja, seperti kita dengar iklan di televisi mengatakan tentang teori kriminal bahwa kejahatan akan terjadi apabila bertemu antara niat dan kesempatan.
Pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan adalah nilai-nilai agama yang akan memunculkan perasaan bersalah dan perasaan berdosa, kepuasan diri terhadap "prestasi" akademik yang dimilikinya, dan juga karena sistem pengawasan ujian, kondusif atau tidak untuk menyontek. Masalah kepuasan "prestasi" akademik juga akan menjadi sebuah konsekuensi yang mungkin menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk menyontek. Bila ia menyontek, maka ia menjadi tidak puas dengan hasil yang diperolehnya.
Yesmil Anwar (dalam Rakasiwi, 2007) mengatakan, sebenarnya nilai hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Karena pendidikan sejatinya adalah sebuah proses manusia mencari pencerahan dari ketidaktahuan. Yesmil Anwar mengungkapkan, bahwa menyontek telanjur dianggap sepele oleh masyarakat. Padahal, bahayanya sangat luar biasa. Bahaya buat si anak didik sekaligus untuk masa depan pendidikan Indonesia. Ibarat jarum kecil di bagian karburator motor. Sekali saja jarum itu rusak, mesin motor pun mati.
Dampak yang timbul dari praktek menyontek yang secara terus menerus dilakukan akan mengakibatkan ketidakjujuran Jika tidak, niscaya akan muncul malapetaka: peserta didik akan menanam kebiasaan berbuat tidak jujur, yang pada saatnya nanti akan menjadi kandidat koruptor. (Poedjinoegroho, 2006)
Pengajaran yang orientasinya siswa mampu menjawab soal dan bukan pada pengertian serta pengembangan inovasi dan kreatifitas siswa akan menumbuhkan kebosanan, kejenuhan, suasana monoton yang dapat berakibat stress. Sudah waktunya sistem pendidikan kita bersifat two way communication antara guru dan siswa. Kelompok kerja makalah, presentasi, pembuatan alat peraga, studi lapangan (misalnya ke pabrik salah satu orang tua siswa) kiranya lebih digiatkan daripada menimbuni siswa dengan soal-soal yang banyak tapi dikerjakan dengan menyontek. (Widiawan,1995).
Jika masalah menyontek ini masih saja dianggap sepele oleh semua orang, tidak akan respon dan tanggapan dari guru, kepala sekolah, pengawas, dinas pendidkan para pakar pendidikan dan pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, penulis pesimis dunia pendidikan akan maju, kreatifitas siswa akan hilang yang tumbuh mungkin orang-orang yang tidak jujur yang bekerja disemua sektor kehidupan.
Beralih kembali ke permasalahan kebiasaan menyontek dalam konteks masyarakat ialah tidak adanya penerapan budaya malu dalam menyontek. Pendidik atau guru pada saat terjebak dengan pandangan penerapan budaya malu dengan penerapan mempermalukan. Hal ini terlihat dengan adanya konsekuensi yang biasa diberikan kepada pelaku dengan mempermalukan di depan teman-temannya yang lain atau lingkungan lain atas tindakan menyontek. Penerapan budaya malu lebih kepada upaya brain washing untuk mendoktrin setiap orang bahwa menyontek adalah upaya yang sangat memalukan dan tidak memerlukan sebuah hukuman langsung terhadap pelaku. Setiap orang yang ingin menyontek akan merasa bahwa setiap orang bahkan dirinya sendiri akan mengawasi dan menghakiminya ketika dia menyontek. Suatu ironi hal ini tidak berlaku dalam masyarakat kita yang dikenal dengan mitos masyarakat yang santun, ramah, bermoral dll.
Pandangan di atas menghilangkan faktor individu sebagai sebuah permasalahan seperti pandangan bahwa seseorang menyontek karena ketidaksiapan dalam menghadapi ujian, adanya sifat pemalas pada individu maupun pandangan-pandangan lain yang lebih mengarah pada penghakiman terhadap individu. Hal ini dikarenakan penulis menyepakati sebuah anggapan bahwa bagaimanapun sebuah sistem jauh lebih penting dari pada pelaku sistem itu sendiri, pertama karena pelaku sistem adalah bagian dari sistem itu sendiri dan kedua adalah sebaik-baiknya pelaku sistem pasti akan menyesuaikan diri dengan sistem itu sendiri.
Lewis R. Aiken dalam Admin (2004) melaporkan bahwa kecenderungan melakukan ”menyontek” di Amerika Serikat meningkat sehingga tidak saja memprihatinkan dunia pendidikan tetapi juga telah menjadi bagian keprihatinan kalangan politisi. Dikatakan bahwa kasus ”menyontek” tidak hanya melibatkan siswa sebagai individu pelaku tetapi ”menyontek” disinyalir telah dilakukan oleh institusi pendidikan dengan melibatkan pejabat-pejabat pendidikan seperti guru, superintendant, school districtst dll. Pada penelitian Aiken yang ditujukan kepada kasus CAP dan CTBS (California Achievement Program dan California Test for Basic Skills), suatu ujian yang diselenggarakan oleh lembaga independen ditemukan bahwa alasan siswa melakukan ”menyontek” karena adanya tekanan yang dirasakan oleh siswa dari orang tuanya, kelompoknya, guru, dan diri mereka sendiri untuk mendapatkan nilai tinggi. Selanjutnya, alasan bagi pejabat pendidikan untuk membantu siswa dalam mengerjakan tes atau mengubah jawaban yang salah dengan jawaban yang benar sebelum lembaran jawaban diserahkan kepada lembaga penyelenggara, adalah karena hal itu menyangkut reputasi sekolah, menyangkut anggaran pendidikan yang akan dibayar oleh masyarakat. Hal itu terjadi karena hasil tes tidak saja mengevaluasi kemampuan individual siswa tetapi juga mengevaluasi reputasi dan kompetensi guru, kepala sekolah, dan pejabat pendidikan lainnya yang memiliki akuntabilitas langsung kepada masyarakat, politisi, dan kalangan bisnis.
Terlepas dari semua itu, banyak siswa yang mengakui bahwa mereka menyontek pasda saat tidak tahu jawaban dari soal-soal yang diberikan oleh guru dan termasuk saat ulangan berlangsung. Pada dasarnya koesioner tidak menyadari bahwa ketidakmapuan mereka menjawab soal ujian merupakan salah satu faktor penyebab mereka menyontek.
Ø Pengaruh
Menyontek bagi Prestasi Siswa
Dalam hubungannya dengan prestasi belajar, prestasi yang diperoleh dianggap sebagai prestasi palsu, karena diperoleh dari hasil menyontek dan menjiplak. Bukan berdasarkan aturan-aturan dasar untuk berprestasi yang terdiri dari kepandaiaan, kecerdaasan, ketanggapan, dan kerajinan berusaha.
Fenomena menyontek sering terjadi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah atau madrasah, tetapi jarang kita dengar masalah menyontek dibahas dalam tingkatan atas, cukup diselesaikan oleh guru atau paling tinggi pada tingkat pimpinan sekolah atau madrasah itu sendiri.
Sudah dimaklumi bahwa orientasi belajar siswa-siswi di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari afektif dan psikomotor, inilah yang membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan praktek menyontek.
Dalam hubungannya dengan prestasi belajar, prestasi yang diperoleh dianggap sebagai prestasi palsu, karena diperoleh dari hasil menyontek dan menjiplak. Bukan berdasarkan aturan-aturan dasar untuk berprestasi yang terdiri dari kepandaiaan, kecerdaasan, ketanggapan, dan kerajinan berusaha.
Dalam hubungannya dengan prestasi belajar, prestasi yang diperoleh dianggap sebagai prestasi palsu, karena diperoleh dari hasil menyontek dan menjiplak. Bukan berdasarkan aturan-aturan dasar untuk berprestasi yang terdiri dari kepandaiaan, kecerdaasan, ketanggapan, dan kerajinan berusaha.
Fenomena menyontek sering terjadi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah atau madrasah, tetapi jarang kita dengar masalah menyontek dibahas dalam tingkatan atas, cukup diselesaikan oleh guru atau paling tinggi pada tingkat pimpinan sekolah atau madrasah itu sendiri.
Sudah dimaklumi bahwa orientasi belajar siswa-siswi di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari afektif dan psikomotor, inilah yang membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan praktek menyontek.
Dalam hubungannya dengan prestasi belajar, prestasi yang diperoleh dianggap sebagai prestasi palsu, karena diperoleh dari hasil menyontek dan menjiplak. Bukan berdasarkan aturan-aturan dasar untuk berprestasi yang terdiri dari kepandaiaan, kecerdaasan, ketanggapan, dan kerajinan berusaha.
C. Upaya
menanggulangi perilaku menyontek
Meskipun tenaga pengajar
harus mengambil tindakan untuk mempertahankan dan mengembangkan pola perilaku
dipihak siswa yang mendukung belajar disekolah, namun ia akan tetap dihadapkan
pada perilaku yang menghambat dan di fromokasikan dengan siswa yang menganggu
dan mengancam.
Pada saat ini, tidak dapat disangkal bahwa guru
dikelas kerap ditantang untuk mengatasi tingkah laku sejumlah siswa yang
deskruftif, lebih-lebih dikota besar. Gejala umum ini bersumber pada berbagai
faktor penyebab, yaitu runtuhnya disiplin hidup bersama dalam masyarakat,
menipisnya kesadaran dan tanggung jawab sosial banyak kalangan, suasana sekolah
yang kurang memberikan kepuasan pada siswa, rasa ketertiban sebagai tenaga
kependidikan dipihak sejulah guru yang mengendor. Guru sebagai orang terdekat
dalam pembelajaran disekolah, memiliki tanggung jawab membimbing siswa.
Tindakan guru pada umumnya dalam pelaksanaan ujian dan ulangan dengan memberikan
penguatan dan peneguhan terhadap sikap dan perilaku mereka yang positif, dimana
mereka
berusaha sendiri menyelesaikan tugasnya dengan baik dan tertib.
berusaha sendiri menyelesaikan tugasnya dengan baik dan tertib.
Namun bila tidak ada perilaku positif yang dapat
diberikan penguatan dan peneguhan maka dibutuhakan pendekatan lain yaitu:
a. Cuing Promping, yaitu siasat memberikan tanda, guru menyajikan suatu perangsang yang berfungsi sebagai pemberitahuan bahwa siswa diharapkan berbuat sesuatu yang sebenarnya dapat mereka lakukan, tetapi belum dilakukan.
b. Model, yaitu guru memberikan model yang ditiru oleh siswanya.
c. Shaping, yaitu membuat tingkah laku secara berlahan-lahan, yaitu setiap tingkah laku siswa, seperti mengatur buku, menyapa guru atau teman, cara ini memerlukan kesabaran yang sangat dari guru.
a. Cuing Promping, yaitu siasat memberikan tanda, guru menyajikan suatu perangsang yang berfungsi sebagai pemberitahuan bahwa siswa diharapkan berbuat sesuatu yang sebenarnya dapat mereka lakukan, tetapi belum dilakukan.
b. Model, yaitu guru memberikan model yang ditiru oleh siswanya.
c. Shaping, yaitu membuat tingkah laku secara berlahan-lahan, yaitu setiap tingkah laku siswa, seperti mengatur buku, menyapa guru atau teman, cara ini memerlukan kesabaran yang sangat dari guru.
Adapun tindakan kuratif guru, berlaku bagi siswa yang
sudah terbiasa dengan contek-menyontek, dengan memberikan peringatan . bentuk
kongkrit dari peringatan dapat bermacam- macam, yaitu :
a. Teguran Verbal, yaitu mendekati siswa tertentu dengan berbicara suara kecil sehingga tidak terdengar oleh teman sekelas.
b. Mengambil suatu hal yang digemari atau disukai siswa, seperti mengikuti kegiatan tertentu atau menyerahkan benda yang dipegangnya.
c. Mengisolasi siswa dari teman – temannya untuk waktu tidak terlalu lama, seperti memindahkannya diruang kosong atau tempat yang jarang dilalui orang.
d. Memberikan sanksi yang berat kepada para pelajar pencontek dan kepada semua pihak yang berperan di dalamnya.
e. Memberikan pelajaran akhlak kepada para pelajar, sekaligus menyadarkaan bahwa Allah selalu mengawasinya, sekaligus menyadarkan akan pentingnya amanah, kejujuran, serta menjelaskan hramnya perbuatan khianat, bohong, serta menipu.
f. Menumbuhkan pada diri pelajar rasa percaya diri pada diri sendiri, karena merupakan pangkal keberhasilan dan prestasi. Guru menjadikan diri sebagai teladan siswa dalam menanamkan nilai kebenaran.
a. Teguran Verbal, yaitu mendekati siswa tertentu dengan berbicara suara kecil sehingga tidak terdengar oleh teman sekelas.
b. Mengambil suatu hal yang digemari atau disukai siswa, seperti mengikuti kegiatan tertentu atau menyerahkan benda yang dipegangnya.
c. Mengisolasi siswa dari teman – temannya untuk waktu tidak terlalu lama, seperti memindahkannya diruang kosong atau tempat yang jarang dilalui orang.
d. Memberikan sanksi yang berat kepada para pelajar pencontek dan kepada semua pihak yang berperan di dalamnya.
e. Memberikan pelajaran akhlak kepada para pelajar, sekaligus menyadarkaan bahwa Allah selalu mengawasinya, sekaligus menyadarkan akan pentingnya amanah, kejujuran, serta menjelaskan hramnya perbuatan khianat, bohong, serta menipu.
f. Menumbuhkan pada diri pelajar rasa percaya diri pada diri sendiri, karena merupakan pangkal keberhasilan dan prestasi. Guru menjadikan diri sebagai teladan siswa dalam menanamkan nilai kebenaran.
Jadi dari bentuk tindakan guru yang telah dipaparkan,
guru dapat membantu siswanya untuk meninggalkan kebiasaan menyontek dalam ujian
atau ulangan dengan berusaha.
a. Membentuk hubungan saling menghargai antara guru –siswa, serta menolong murid bertindak jujur dan tanggung jawab.
b. Membuat dan mendukung peraturan sehubungan dengan menyontek, karena siswa memahami peraturan dari tindakan guru.
c. Mengembangkan kebiasaan dan keterampilan belajar yang baik dan menolong siswa merencanakan, melaksanakan cara belajar siswa.
d. Tidak membiarkan siswa menyontek jika hal tersebut terjadi dalam kelas dengan teguran atau cara lain yang pantas dengan perbuatannya, sebagai penerapan disiplin.
e. Menekankan “ Belajar” lebih sekedar mendapat nilai, yaitu membantu siswa memahami arti belajar sebagai suatu tujuan mereka sekolah, dan nilai akan berarti bila murni dengan kemampuan siswa sendiri.
f. Bertanggung jawab merefleksikan “kebenaran dan kejujuran”, yaitu guru menjadikan diri sebagai teladan siswa dalam menanamkan nilai kebenaran dan kejujuran.
g. Menggunakan test subjektif sebagai dasar proses ulangan dan ujian.
a. Membentuk hubungan saling menghargai antara guru –siswa, serta menolong murid bertindak jujur dan tanggung jawab.
b. Membuat dan mendukung peraturan sehubungan dengan menyontek, karena siswa memahami peraturan dari tindakan guru.
c. Mengembangkan kebiasaan dan keterampilan belajar yang baik dan menolong siswa merencanakan, melaksanakan cara belajar siswa.
d. Tidak membiarkan siswa menyontek jika hal tersebut terjadi dalam kelas dengan teguran atau cara lain yang pantas dengan perbuatannya, sebagai penerapan disiplin.
e. Menekankan “ Belajar” lebih sekedar mendapat nilai, yaitu membantu siswa memahami arti belajar sebagai suatu tujuan mereka sekolah, dan nilai akan berarti bila murni dengan kemampuan siswa sendiri.
f. Bertanggung jawab merefleksikan “kebenaran dan kejujuran”, yaitu guru menjadikan diri sebagai teladan siswa dalam menanamkan nilai kebenaran dan kejujuran.
g. Menggunakan test subjektif sebagai dasar proses ulangan dan ujian.
Dari uraian di atas dapat diidentifikasi bahwa ada
empat faktor yang menjadi penyebab menyontek yaitu:
ü Faktor individual atau pribadi dari
penyontek.
ü Factor lingkungan atau pengaruh kelompok.
ü Factor system evaluasi.
ü Factor guru atau penilai.
Berkenaan dengan asas moral di atas, dapat ditegaskan bahwa
yang terpenting dalam pendidikan moral adalah bagaimana menciptakan faktor
kondisional yang dapat mengundang dan memfasilitasi seseorang untuk selalu
berbuat secara moral dalam ujian (tidak “menyontek”) maka caranya adalah
mengkondisikan keempat faktor di atas ke arah yang mendukung, yaitu sebagai
berikut:
ü Faktor pribadi dari penyontek
a.
Bangkitkan
rasa percaya diri.
b.
Arahkan self
consept mereka kea rah yang lebih proporsional
c.
Biasakan
mereka berpikir lebih realistis dan tidak ambisius
ü Faktor Lingkungan dan Kelompok
Ciptakan
kesadaran disiplin dank ode etik kelompok yang sarat dengan pertimbangan moral.
ü Faktor Sistem Evaluasi
a.
Buat
instrument evaluasi yang valid dan reliable (yang tepat dan tetap).
b.
Terapkan
cara pemberian skor yang benar – benar objektif.
c.
Lakukan
pengawasan yang ketat.
d.
Bentuk soal
disesuaikan dengan perkembangan kematangan peserta didik dan dengan
mempertimbangkan prinsip paedagogy serta prinsip andragogy.
ü Faktor Guru
a.
Berlaku
objektif dan terbuka dalam pemberian nilai.
b.
Bersikap
rasional dan tidak “menyontek” dalam memberikan tugas ujian / tes.
c.
Tunjukkan
keteladanan dalam perilaku moral.
d.
Berikan
umpan balik atas setiap penugasan.
Menyikapi fenomena contek-menyontek dikalangan para
siswa sebenarnya kita bisa saja memutus rantai itu dengan menumbuhkan imej dari
remaja tersebut bahwa kita bisa solider dalam banyak hal, tetapi tidak dalam
hal ujian. Dengan sikap seperti itu maka diharapkan akan meminimalisasi contek
menyontek di kalangan remaja. Tumbuhkan rasa percaya diri dengan merasa puas
akan hasil kerja sendiri. Mengubah kebiasaan. Mungkin pada awalnya memang bukan
hal gampang, tapi kalau kita memang meniatkan dalam hati, yakinlah bahwa tak
ada satu hal pun yang tidak mungkin.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menyontek adalah salah satu wujud
perilaku dan ekspresi mental seseorang. Ia bukan merupakan sifat bawaan
individu, tetapi sesuatu yang lebih merupakan hasil belajar/pengaruh yang
didapatkan seseorang dari hasil interaksi dengan lingkungannya. Dengan
demikian, menyontek lebih sarat dengan muatan aspek moral daripada muatan aspek
psikologis.
Dalam batas-batas tertentu
menyontek dapat dipahami sebagai sesuatu fenomena yang manusiawi, artinya
perbuatan menyontek bisa terjadi pada setiap orang sehingga asumsi di depan
yang menyatakan bahwa ada korelasi antara perilaku menyontek di sekolah dengan
perilaku kejahatan seperti korupsi di masyarakat adalah terlalu spekulatif dan
sulit dibuktikan secara nalar ilmiah. Meskipun demikian tak dapat disangkal
bahwa menyontek bisa membawa dampak negatif baik kepada individu, maupun bagi
masyarakat. Dampak negatif bagi individu akan terjadi apabila praktek menyontek
dilakukan secara kontinyu sehingga menjurus menjadi bagian kepribadian
seseorang.
Selanjutnya, dampak negatif
bagi masyarakat akan terjadi apabila masyarakat telah menjadi terlalu permisif
terhadap praktek menyontek sehingga akan menjadi bagian dari kebudayaan, dimana
nilai-nilai moral akan terkaburkan dalam setiap aspek kehidupan dan pranata
sosial.
Sebagai bagian dari aspek moral, maka terjadinya menyontek sangat ditentukan oleh faktor kondisional yaitu suatu situasi yang membuka peluang, mengundang, bahkan memfasilitasi perilaku menyontek. Seseorang yang memiliki nalar moral, yang tahu bahwa menyontek adalah perbuatan tercela, sangat mungkin akan melakukannya apabila ia dihadapkan kepada kondisi yang memaksa.
Sebagai bagian dari aspek moral, maka terjadinya menyontek sangat ditentukan oleh faktor kondisional yaitu suatu situasi yang membuka peluang, mengundang, bahkan memfasilitasi perilaku menyontek. Seseorang yang memiliki nalar moral, yang tahu bahwa menyontek adalah perbuatan tercela, sangat mungkin akan melakukannya apabila ia dihadapkan kepada kondisi yang memaksa.
Mencegah menyontek tidaklah
cukup dengan sekedar mengintervensi aspek kognitif seseorang, akan tetapi yang
paling penting adalah penciptaan kondisi positif pada setiap faktor yang
menjadi sumber terjadinya menyontek, yaitu pada faktor siswa, pada lingkungan,
pada sistem evaluasi dan pada diri guru.
Oleh karena setiap orang
berpotensi untuk melakukan menyontek dan terdapatnya gejala kecenderungan
semakin maraknya praktek menyontek di dunia pendidikan, maka perlu segera
dilakukan review atau reformulasi sistem atau cara pengujian, penyelenggaraan
tes yang berlangsung selama ini baik yang diselenggarakan secara massal oleh
suatu badan atau kepanitiaan maupun yang diselenggarakan secara individual oleh
setiap guru.
Dengan Pemaparan dan Isi
karya tulis diatas dapat disimpulkan bahwa menyontek dapat berpengaruh bagi
prestasi siswa kelas XI SMA N 1 CEPU.
B. SARAN
a. Pemberian tes lisan ini
dilakukan penulis secara bertahap, tidak sekaligus pada waktu ulangan atau
ujian, karena cara ini menggunakan waktu yang lama. Disamping itu tes tulisan
juga masih digunakan sebagai pembanding kemampuan siswa-siswi
Penulis mengharapkan ada kesepakatan bersama semua komponen yang terlibat langsung dalam dunia pendidikan untuk memerangi masalah menyontek atau cheating bagi pelajar dalam ulangan atau ujian yang diberikan oleh guru, sekolah maupun pemerintah (Ujian Nasional). Karena sistem sekarang ini masih menggunakan penilaian nasional, maka yang terpenting kita sebagai subyek pendidikan yang berlaku jujur dalam mengelola pendidikan. Guru dalam menilai harus jujur, pengawas harus jujur mengawasi para siswa, kepala sekolah harus jujur dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Jangan malu dan takut dikatakan gagal meluluskan siswa-siswinya dalam ujian.
b. Menyikapi fenomena contek-menyontek dikalangan para siswa sebenarnya kita bisa saja memutus rantai itu dengan menumbuhkan imej dari remaja tersebut bahwa kita bisa solider dalam banyak tetapi dalam ujian, kita kerja sendiri-sendiri dengan sikap seperti itu maka diharapkan akan meminimalisasi contek-menyontek di kalangan remaja. Tumbuhkan rasa percaya diri dengan merasa puas akan hasil kerja sendiri. Mengubah kebiasaan. Mungkin pada awalnya memang bukan hal gampang.
Penulis mengharapkan ada kesepakatan bersama semua komponen yang terlibat langsung dalam dunia pendidikan untuk memerangi masalah menyontek atau cheating bagi pelajar dalam ulangan atau ujian yang diberikan oleh guru, sekolah maupun pemerintah (Ujian Nasional). Karena sistem sekarang ini masih menggunakan penilaian nasional, maka yang terpenting kita sebagai subyek pendidikan yang berlaku jujur dalam mengelola pendidikan. Guru dalam menilai harus jujur, pengawas harus jujur mengawasi para siswa, kepala sekolah harus jujur dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Jangan malu dan takut dikatakan gagal meluluskan siswa-siswinya dalam ujian.
b. Menyikapi fenomena contek-menyontek dikalangan para siswa sebenarnya kita bisa saja memutus rantai itu dengan menumbuhkan imej dari remaja tersebut bahwa kita bisa solider dalam banyak tetapi dalam ujian, kita kerja sendiri-sendiri dengan sikap seperti itu maka diharapkan akan meminimalisasi contek-menyontek di kalangan remaja. Tumbuhkan rasa percaya diri dengan merasa puas akan hasil kerja sendiri. Mengubah kebiasaan. Mungkin pada awalnya memang bukan hal gampang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Alhadza. "Masalah Perilaku Menyontek (cheating) Di
Dunia Pendidikan".http://depdiknas.go.id/jurnal/38 .
Diakses pada tanggal 25 Januri 2008.
Burns, S.R., Davis, S.F,. Hoshino, J., Miller, R.L.
1988. "Academic Dishonesty: A Delineation of Cross-cultural
Patterns". College Students Journal, 32 (4), 590-597.
Caroli, C.A. 2004. "Cheating is Pervasive
Problem in Education, Forum Participants say". Education
Week, 23 (24), 10.
Davis, S.F.,Grover,C.A., Becker,.A.H.
&McGregor,L.N. 1992. "Academic dishonesty: Prevalence, Determinants,
Techniques and Punishmenta". Teaching of Psychology, 19
(1), 16-20.
Houston, J.P. 1987. ”Curve linear Relationship among
Anticipated Success, Cheating Behavior, Temptation to Cheat, and Perceived
Instrumentality of Cheating”. Journal of Educational Psychology,70,
(5), 758-762.
Klein,H.A., Levenburg, N.M., McKendall,M., &
Mothersell,W.. 2007. ”Cheating During the College Years: How do Business
School Students Compare?”. Journal of Business Ethics, 72 (10),
197-206.
Lim dan See. 2001. ”Attitude Toward, and Intentions to
Report, Academic Cheating among Students in Singapore”. Ethics and
Behavior Journal, 11 (3), 261-275.
Lobel dan Levanon. 1988. ”Self-esteem, Need for
Approval and Cheating Behavior in Children. Journal of Educational
Psychology, 80 (1), 122-123.
Newstead, S.E., Stokes, A.F., & Armstead, P. 1996.
”Individual Difences in Student cheating". Journal of Educational
Psychology, 88, (2), 229-241.
Santoso, T. 1991. Menyontek Bukan Seni. Dalam
Kartini Kartono (ed.). Bimbingan Bagi Anak Remaja yang Bermasalah.
Jakarta: Rajawali Press.
Sujana. 1994. ”Hubungan Antara Kecenderungan Pusat
Kendali Internal dengan Intensi Menyontek”. Jurnal Psikologi, Vol.
21. h. 18
Widiawan, Kiswanto. "Menyontek Jadi Budaya
Baru" Pokok Pikiran 2 Karya Wiyata 72 Tahun XVIII September-Oktober 1995.
Diambil darihttp://depdiknas.go.id/jurnal/38
Witley, B.E. 1998. ” Factors Associated
With Cheating Among college students: A review”. Research in Higher
Education, 39, (3).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar