Sabtu, 08 Desember 2012

Budaya Menyontek dan Pengaruhnya terhadap Prestasi Siswa

BAB I

PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG

            Masalah sumber daya manusia adalah masalah yang sangat penting yang menunjang suatu negara, khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Masalah ini tentunya tak lepas dari bidang pendidikan yang secara umum diidentikkan dengan pendidikan formal yang dilaksanakan di sekolah, dan secara langsung mempengaruhi terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas. Dengan tersedianya sumber daya yang berkualitas, maka suatu negara akan berkembang secara optimal.
Salah satu tujuan negara Indonesia dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk memperlancar proses pendidikan maka diperlukan suatu wadah atau lembaga yang disebut sekolah. Di sekolah setiap siswa di tuntut untuk  membekali diri dengan pengetahuan akademik yang layak sehingga dapat menembus persaingan yang ketat dan mendapatkan haknya dibidang pendidikan, dan mereka lebih termotivasi untuk selalu berkembang serta meraih prestasi yang gemilang.
            Dengan mendapatkan prestasi yang gemilang, seseorang akan dikatakan sebagai siswa yang berhasil dalam menuntut ilmu dan juga akan dicap sebagai sumber daya yang layak dan berkualitas. Namun disisi lain di jaman sekarang ini banyak siswa yang meraih prestasi yang gemilang dengan usaha  yang negatif, salah satunya dengan menyontek.
            Menyontek dapat diartikan sebagai perbuatan untuk mencapai suatu keberhasilan dengan jalan yang tidak sah. Menyontek dapat dilakukan dalam berbagai bentuk antara lain, menyalin jawaban teman, mengintip buku teks atau catatan saat ulangan, dan tanya-jawab dengan teman saat ulangan.
            Mungkin menyontek adalah kegemaran kebanyakan siswa. Menyontek adalah salah satu fenomena yang sering dan bahkan selalu muncul menyertai aktifitas belajar mengajar sehari-hari. Menyontek seperti telah menjadi kebiasaan para siswa, tidak hanya di Indonesia di luar negeri pun menyontek telah menjadi budaya yang dianggap lumrah, tetapi jarang mendapat pembahasan dalam wacana pendidikan kita di Indonesia.
            Kurangnya pembahasan mengenai menyontek mungkin disebabkan karena kebanyakan pakar menganggap masalah mengenai menyontek ini adalah hal yang sifatnya sepeleh, padahal masalah menyontek sesungguhnya merupakan masalah yang sangat penting dan mendasar karena berpengaruh pada masalah sumber daya manusia.
            Mengapa para siswa menyontek? Generalisasinya, untuk bersaing di sekolah agar mendapatkan prestasi yang baik. Banyak siswa yang mencontek pada saat menghadapi ujian. Rata-rata nilai yang didapat oleh para plagiator (orang yang suka mencontek) selalu tinggi dari nilai yang sebenarnya. Apakah nilai palsu inilah yang akan dipertaruhkannya untuk mengukir masa depan, Tanpa mengetahui daya atau kemampuan intelektual yang sebenarnya?
            Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai  “BUDAYA MENYONTEK DAN PENGARUHNYA TERHADAP  PRESTASI SISWA”.

B.        RUMUSAN MASALAH

            Dari judul “BUDAYA MENYONTEK DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRESTASI SISWA” dapat di rumuskan masalah:
1.    Apa faktor penyebab siswa menyontek?
2.    Bagaimana pengaruh menyontek terhadap prestasi siswa?
3.    Bagaimana upaya menanggulangi perilaku menyontek ?

C.     TUJUAN PENELITIAN

1.    Untuk menjekaskan faktor penyebab siswa menyontek.
2.    Untuk mengetahui pengaruh menyontek terhadap prestasi siswa.
3.    Untuk mengetahui dan menjelaskan upaya menanggulangi perilaku menyontek

D.    MANFAAT PENELITIAN

1.      Memberikan pengetahuan bagi diri sendiri dan juga bagi pelajar lain mengenai menyontek dan pengaruhnya terhadap prestasi khususnya bagaimana cara menanggulangi perilaku menyontek sehingga terbentuk perilaku yang jujur dalam belajar serta akan terbentuk sumber daya yang berkualitas.
2.      Sebagai bahan bacaan bagi guru-guru dan penulis lain yang dapat dijadikan            sebagai sumber referensi dan bahan kepustakaan dalam bidang budaya menyontek serta pengaruhnya terhadap prestasi siswa.
3.      Agar pahak sekolah dan orang tua siswa mengetahui hal-hal mengenai menyontek dan turut membimbing dan mendidik para siswa agar tidak melakukan perilaku menyontek tersaebut.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-3 siswa sama saja dengan murid dan pelajar, yang berarti orang (anak) yang sedang berguru (belajar, bersekolah).

A.     MENYONTEK

            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-3 menyontek diartikan sebagai mengutip (tulisan dan sebagainya) sebagaimana aslinya atau disebut juga dengan menjiplak.
            Menyontek memiliki arti yang beraneka macam, akan tetapi biasanya dihubungkan dengan kehidupan sekolah, khususnya bila ada ulangan dan ujian. Biasanya usaha menyontek dimulai pada waktu ulangan dan ujian akan berakhir, namun demikian tidak jarang usaha tersebut telah dimulai sejak ujian dimulai.
            Dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia istilah menyontek memiliki pengertian yang hampir sama yaitu “ Tiru hasil pekerjaan orang lain”. Maka dapat disimpulkan menyontek dalam pelaksanaan ujian adalah mengambil jawaban soal – soal ujian dari cara – cara yang tidak dibenarkan dalam tata tertib ujian seperti : dari buku, catatan, hasil pemikiran temannya dan media lain yang kemudian disalin pada lembar jawaban ujian pada saat ujian berlangsung.
            Menurut Deighton (Alhadza, 2004) maksudnya menyontek adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara yang tidak fair (tidak jujur).
            Hal senada di kemukakan oleh Bower (Alhadza, 2004), menyontek adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah/terhormat yaitu untuk mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis.
            Dari teori-teori tentang motivasi, diketahui bahwa cheating atau menyontek bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi underpressure (dibawah tekanan), atau apabila dorongan atau harapan untuk berprestasi jauh lebih besar dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan atai semakin tinggi prestasi yang diinginkan dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka semakin besar hasrat dan kemungkinan untuk melakukan perilaku menyontek (Alhadza, 2004).
            Salah satu faktor yang mempengaruhi siswa menyontek adalah motivasi berkompetisi dalam prestasi belajar yang ketat. Motivasi Berkompetisi adalah suatu dorongan dalam diri seseorang untuk memperlihatkan keunggulan masing-masing dan untuk mencapai sesuatu yang terbaik, mencari pengakuan dan kehormatan diri dari orang lain dengan cara memperkecil hasi orang lain, menghindari kerjasama, memaksimalkan hasil pribadi dan menonjolkan diri (Mahzumah, 2004).
            Yelon dan Weinstein (Haryono, dkk) mengatakan bahwa pelajar yang mempresepsikan intensitas dalam kelasnya tinggi akan terdorong untuk melakukan perilaku menyontek. Semakin tinggi presepsi pelajar terhadap intensitas kompetisi dalam kelas, semakin tinggi pula kemungkinan perilaku menyontek yang terjadi. Hal tersebut terjadi karena kompetisi menimbulkan suatu tekanan atau dorongan dalam diri setiap siswa untuk mencapai nilai yang tinggi.
            Dari beberapa pengertian menyontek oleh ahli diatas maka penulis secara umum menyimpulkan bahwa menyontek adalah perbuatan meniru, atau menjiplak pekerjaan orang lain sesuai dengan aslinya saat ujian yang menyalahi aturan atau pelanggaran yang terjadi saat ujian.
            Ada beberapa bentuk perilaku menyontek yang dilakukan kebanyakan siswa antara lain: seorang siswa memindahkan informasi contekan pada kertas kecil, seorang siswa memberikan bantuan kepada temannya sebagian jawabaan dengan berbagai cara, soal ujian yang telah bocor kepada sebagian pelajar, membuat catatan kecil terselip di baju, alat tulis atau meja, mencatat di tangan dan kaki, menggunakan Isyarat tertentu, serta  membuat pengalih perhatian agar pengawas ujian tidak melihat saat menyontek.

B.     BELAJAR

            Untuk memahami tentang pengertian belajar di sini akan diawali dengan mengemukakan beberapa definisi tentang belajar. Ada beberapa pendapat para ahli tentang definisi tentang belajar. Cronbach, Harold Spears dan Geoch dalam Sardiman A.M (2005:20) sebagai berikut :
1) Cronbach memberikan definisi : “Learning is shown by a change in behavior as a result of experience”. “Belajar adalah memperlihatkan perubahan dalam perilaku sebagai hasil dari pengalaman”.
2) Harold Spears memberikan batasan: Learning is to observe, to read, to initiate, to try something themselves, to listen, to follow direction”. Belajar adalah mengamati, membaca, berinisiasi, mencoba sesuatu sendiri, mendengarkan, mengikuti petunjuk/arahan.
3) Geoch, mengatakan : Learning is a change in performance as a result of practice”.Belajar adalah perubahan dalam penampilan sebagai hasil praktek.
            Dari ketiga definisi diatas dapat disimpulkan bahwa belajar itu senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Juga belajar itu akan lebih baik kalau si subyek belajar itu mengalami atau melakukannya, jadi tidak bersifat verbalistik. Belajar sebagai kegiatan individu sebenarnya merupakan rangsangan-rangsangan individu yang dikirim kepadanya oleh lingkungan. Dengan demikian terjadinya kegiatan belajar yang dilakukan oleh seorang idnividu dapat dijelaskan dengan rumus antara individu dan lingkungan.
            Fontana seperti yang dikutip oleh Udin S. Winataputra (1995:2) dikemukakan bahwalear ning (belajar) mengandung pengertian proses perubahan yang relative tetap dalam perilaku individu sebagai hasil dari pengalaman. Pengertian belajar juga dikemukakan oleh Slameto (2003:2) yakni belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
            Selaras dengan pendapat-pendapat di atas, Thursan Hakim (2000:1) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dll. Hal ini berarti bahwa peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seseorang diperlihatkan dalam bentuk bertambahnya kualitas dan kuantitas kemampuan seseorang dalam berbagai bidang. Dalam proses belajar, apabila seseorang tidak mendapatkan suatu peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan, maka orang tersebut sebenarnya belum mengalami proses belajar atau dengan kata lain ia mengalami kegagalan di dalam proses belajar.
            Belajar yang efektif dapat membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan yang diharapkan sesuai dengan tujuan instruksional yang ingin dicapai. Untuk meningkatkan prestasi belajar yang baik perlu diperhatikan kondisi internal dan eksternal. Kondisi internal dalah kondisi atau situasi yang ada dalam diri siswa, seperti kesehatan, keterampilan, kemapuan dan sebaginya. Kondisi eksternal adalah kondisi yang ada di luar diri pribadi manusia, misalnya ruang belajar yang bersih, sarana dan prasaran belajar yang memadai.

C.     PRESTASI SISWA

            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-3 prestasi diartikan sebagai sesuatu yang telah dicapai atas segala sesuatu yang telah dilakukan atau dikerjakan. Sedangkan berprestasi berarti mempunyai prestasi dalam suatu hal dari segala sesuatu yang telah dulakukan atau dukerjakan.
            Prestasi belajar adalah hasil yang dicapai oleh seseorang setelah ia melakukan perubahan belajar, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Di dalam webster’s New Internasional Dictionary mengungkapkan tentang prestasi yaitu: “Achievement test a standardised test for measuring the skill or knowledge by person in one more lines of work a study” (Webster’s New Internasional Dictionary, 1951 : 20). Mempunyai arti kurang lebih prestasi adalah standar tes untuk mengukur kecakapan atau pengetahuan bagi seseorang didalam satu atau lebih dari garis-garis pekerjaan atau belajar. Dalam kamus populer prestasi ialah hasil sesuatu yang telah dicapai (Purwodarminto, 1979 : 251).
            Muray dalam Beck (1990 : 290) mendefinisikan prestasi sebagai berikut :
“To overcome obstacle, to exercise power, to strive to do something difficult as well and as quickly as possible”. “Kebutuhan untuk prestasi adalah mengatasi hambatan, melatih kekuatan, berusaha melakukan sesuatu yang sulit dengan baik dan secepat mungkin”.
            Prestasi adalah hasil yang telah dicapai seseorang dalam melakukan kegiatan. Gagne (1985:40) menyatakan bahwa prestasi belajar dibedakan menjadi lima aspek, yaitu : kemampuan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, sikap dan keterampilan. Menurut Bloom dalam Suharsimi Arikunto (1990:110) bahwa hasil belajar dibedakan menjadi tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
            Menurut Drs. H. Abu Ahmadi menjelaskan Pengertian Prestasi Belajar sebagai berikut: Secara teori bila sesuatu kegiatan dapat memuaskan suatu kebutuhan, maka ada kecenderungan besar untuk mengulanginya. Sumber penguat belajar dapat secara ekstrinsik (nilai, pengakuan, penghargaan) dan dapat secara ekstrinsik (kegairahan  untuk menyelidiki,  mengartikan situasi). Disamping itu siswa memerlukan/ dan harus menerima umpan balik secara langsung derajat sukses pelaksanaan tugas (nilai raport/nilai test) (Psikologi Belajar DRS.H Abu Ahmadi, Drs. Widodo Supriyono 151).
            Winkel (1996:226) mengemukakan bahwa prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang. Maka prestasi belajar merupakan hasil maksimum yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar. Sedangkan menurut Arif Gunarso (1993 : 77) mengemukakan bahwa prestasi belajar adalah usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar.
            S. Nasution berpendapat bahwa prestasi belajar merupakan kesempurnaan seorang peserta didik dalam berpikir, merasa dan berbuat. S. Nasution (1996).
            Prestasi belajar di bidang pendidikan adalah hasil dari pengukuran terhadap peserta didik yang meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes atau instrumen yang relevan. Jadi prestasi belajar adalah hasil pengukuran dari penilaian usaha belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, huruf maupun kalimat yang menceritakan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak pada periode tertentu. Prestasi belajar merupakan hasil dari pengukuran terhadap peserta didik yang meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes yang relevan.
            Prestasi belajar dapat diukur melalui tes yang sering dikenal dengan tes prestasi belajar. Menurut Saifudin Anwar (2005 : 8-9) mengemukakan tentang tes prestasi belajar bila dilihat dari tujuannya yaitu mengungkap keberhasilan sesorang dalam belajar. Testing pada hakikatnya menggali informasi yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Tes prestasi belajar berupa tes yang disusun secara terrencana untuk mengungkap performasi maksimal subyek dalam menguasai bahan- bahan atau materi yang telah diajarkan. Dalam kegiatan pendidikan formal tes prestasi belajar dapat berbentuk ulangan harian, tes formatif, tes sumatif, bahkan ebtanas dan ujian-ujian masuk perguruan tinggi.
Daari beberapa definisi diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian prestasi belajar ialah hasil usaha bekerja atau belajar yang menunjukan ukuran kecakapan yang dicapai dalam bentuk nilai. Sedangkan prestasi belajar hasil usaha belajar yang berupa nilai-nilai sebagai ukuran kecakapan dari usaha belajar yang telah dicapai seseorang, prestasi belajar ditunjukan dengan jumlah nilai raport atau test nilai sumatif.

BAB III

PEMBAHASAN


A.     PENYEBAB SISWA MENYONTEK

            Banyak siswa yang tergiur untuk menyontek meskipun hanya sekali. Beberapa anak setelah menyontek sekali merasa bersalah dan tidak mengulanginya lagi, sementara beberapa anak yang lain bisa ketagihan dan merasa hal ini sangat berguna. Sayangnya, beberapa anak yang sudah mulai mencontek susah untuk berhenti.
            Berdasarkan beberapa penelitian, penulis mengakategorikan empat faktor yang mempengaruhi perilaku menyontek, yaitu faktor situasional, faktor disposisional, faktor personal, dan faktor eksternal.
1.   Faktor situasional
a.    Orientasi tujuan
         Penelitian Newstead, dkk. menunjukkan bahwa mengejar nilai yang tinggi merupakan faktor pendorong bagi pelajar untuk menyontek.[1]  Para pendidik sering terkadang menekankan pelajar untuk memperoleh nilai dan peringkat akademis daripada pemahaman materi pelajaran,[2]  orang tua yang ingin anaknya meraih prestasi tinggi, ada yang menyadari kemampuan anaknya tidak terlalu baik sehingga tidak terlalu menuntut nilai tinggi, tetapi tetapmemberikan motivasi untuk berprestasi lebih baik, ada juga orang tua yang memahami kemampuan anaknya pas-pasan tetap menuntut prestasi tinggi demi gengsi dan kebanggaan, sehingga anak diamarahi jika mendapat nilai jelek.[3]  Keller melaporkan bahwa 69% siswa menyebutkan tekanan pada nilai tinggi merupakan alasan kuat menyontek.[4] 
b.    Kontrol atau pengawasan selama ujian
         Jika suasana pengawasan ketat, maka kecenderungan menyontek kecil, sebaliknya jika suasana pengawasan longgar, maka kecenderungan menyontek menjadi lebih besar. Para pelajar berfikir bahwa pengawasan yang longgar dan kemungkinan kecil akan diketahui oleh pengawas berpengaruh besar terhadap keputusan untuk menyontek. Menurut Carolli bahwa siswa menyontek karena merasa perbutannya tidak akan diketahui oleh pengawas.[5]
c.    Banyaknya jumlah siswa dalam kelas
         Padatnya populasi dalam satu kelas akan memudahkan pelajar menyontek. Jika kelas yang seperti ini menggunakan soal pilihan ganda akan memberikan peluang terjadinya menyontek.[6]  Pengaturan tempat duduk juga akan sangat mempengaruhi kemungkinan terjadinya menyontek.[7]
d.    Kurikulum
         Menyontek dipandang sebagai suatu bentuk strategi dalam menghadapi tuntutan kurikulum sekolah.[8]  Ketika pelajar mengalami kesulitan dalam memahami dan menyerap materi pelajaran dan beban materi pelajaran yang harus dipelajari terlalu berat, maka beberapa pelajar pesimis dan terpaksa mencari jalan keluar dengan cara menyontek.[9]
e.    Pengaruh teman sebaya
         Munculnya perilaku menyontek juga sangat ditentukan fatkor teman sebaya. Bila dalam kelas terdapat beberapa anak yang menyontek akan mempengaruhi anak yang lain untuk menyontek juga. Pada awalnya seseorang tidak bermaksud menyontek, tetapi karena melihat temannya menyontek, maka merekapun ikut menyontek.[10] 
f.     Soal tes yang sulit
        Praktek kecurangan atau menyontek terjadi karena terlalu sulitnya tugas yang diberikan, sulitnya soal yang dihadapi membuat pelajar merasa bahwa kemungkinan gagal akan sangat besar, untuk menghindarihal tersebut mereka rela melakukan tindakan menyontek.[11]
g.    Ketidaksiapan mengikuti ujian
         Salah satu alasan yang membeut siswa tidak siap menhadapi ujian adalah kemalasan untuk belajar secara teratur dan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Selain itu,  kebiasaan belajar hanya ketika mau ujian. Akibat sistem belajar yang seperti itu maka siswa tidak mampu menguasai seluruh materi yang akan diujikan secara optimal, sehingga lebih mengandalkan menyontek.[12]
2.   Faktor disposisional
a.    Iklim akademis sekolah
         Pada umumnya peneliti meyakini bahwa iklim di sekolah ataupun Perguruan Tinggi telah mengikis pernyataan 'siapa yang menyontek akan mendapat hukuman'. Kurangnya perhatian dari sekolah dan Perguruan Tinggi terhadap menyontek mengakibatkan pelajar menyimpulkan bahwa kalau tidak menyontek berarti mereka terlalu bodoh karena tidak memanfaatkan kesempatan.[13]
b.    Intelegensi
         Penelitian Eisenberger dan Shank menunjukkan bahwa siswa yang berintelegensi lebih rendah lebih sering menyontek dari pada yang berintelegensi tinggi. Selain itu, siswa yang beretika kerja personal tinggi lebih cenderung mampu menahan diri untuk tidak menyontek daripada mereka dengan etika kerja personal rendah.[14]
3.  Faktor personal
a.    Kurang percaya diri
         Siswa atau mahasiswa yang menyontek memiliki kepercayaan diri yang minimal terhadap kemampuan diri sendiri. Oleh karena itu, mereka akan berusaha mencari penguat dari pihak lain seperti teman-temannya dengan cara bertanya, atau bisa juga dari buku-buku catatan yang telah dipersiapkan sebelumnya.[15] 
b.    Self-esteem dan need for approval
         Menurut Lobel dan Levanon,  kecil kemungkinannya untuk menyontek bagi siswa dengan self-esteem tinggi dan need for approval yang rendah. Akan tetapi, bagi siswa yang memiliki self-esteem dan need for approval yang sama-sama tinggi kemungkinan akan menyontek seperti halnya siswa yang memiliki self-esteem yang rendah.[16] 
c.    Katakutan terhadap kegagalan
         Sumber utam ketakutan terhadap kegagalan adalah ketidaksiapan menghadapi ujian tetapi yang bersangkutan tidak mau menundanya dan juga tidak mau gagal.[17]  Selain itu diperkuat pengalaman kegagalan pada tes-tes sebelumnya. Menurut Vitro dan Schoer kegagalan dalam suatu tes lebih sering diikuti oleh tindakan menyontek pada tes berikutnya bila dibandingkan dengan keberhasilan.[18] 
d.    Kompetisi dalam memperoleh nilai dan peringkat akademis
         Hasil penelitian Burns dkk. menunjukkan bahwa persaingan dalam memperolah nilai yang tinggi dan peringkat yang tinggi memicu terjadinya menyontek.[19]  Nilai yang tinggi akan berpengaruh pada peringkat akademis di kelas dan pering kat akademis di kelas dapat meningkatkan citra diri siswa. Oleh karena itu, mereka berusaha mencari jalankeluar dengan cara menyontek agar dapat mempertahankan citra diri yang positif.
4.   Faktor eksternal
a.    Jenis kelamin
         Beberapa hasil penelitian tentang hubungan gender dengan menyontek cenderung tidak konsisten. Perempuan cenderung lebih sedikit menyontek dibandingkan dengan laki-laki. Akan tetapi, beberapa penelitian menemukan korelasi yang sangat lemah diantranya. Hasil penelitian yang dilakukan Davis dkk. menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak menyontek dari pada perempuan. Pada umumnya perempuan merasakan belajar senagai hal yang menyenangkan dan memberi kepuasan sehingga tidak suka menyontek.[20]
b.    Usia
         Faktor usia sebenarnya tidak terlalu berperan dalam kemungkinan seseorang menyontek.[21]  Tetapi menurut Newstead dkk. bahwa mahasiswa dengan usia yang lebih muda lebih sering menyontek dari pada siswa dengan usia yang lebih tua.[22] 
c.    Peringkat atau nilai
         Perilaku menyontek seringkali dikaitkan dengan nilai atau peringkat. Menurut Witley siswa dengan nilai lebih rendah kemungkinan lebih besar menyontek daripada siswa yang memiliki nilai tinggi.[23]  Meski demikian beberapa penelitian lain diketahui bahwa nilai atau peringkat sering berkorelasi negative dengan perilaku menyontek.
d.    Moralitas
         Penilain moral dipahami sebagai kemampuan seseorang untuk menilai suatu tindakan dari sudut pandang kebaikan, keburukan, kebenaran, dan kesalahan serta memutuskan apa yang seharusnya dilakukan berdasarkan penilaian yang telah dilakukan. Permasalahannya bahwa keputusan yang telah dibuat tidak selalu diikuti oleh tindakan yang sesuai dengan keputusan tersebut.[24]

B.     Dampak Menyontek dan Pengaruh budaya menyontek terhadap prestasi siswa

Ø   Dampak - dampak Menyontek
Menurut Bandura (dalam Vegawati, Oki dan Noviani, 2004), fungsi psikologis merupakan hubungan timbal balik yang interdependen dan berlangsung terus menerus antara faktor individu, tingkah laku, dan lingkungan. Dalam hal ini, faktor penentu tingkah laku internal ( keyakinan dan harapan), serta faktor penentu eksternal ( "hadiah" dan "hukuman") merupakan bagian dari sistem pengaruh yang saling berinteraksi. Proses interaksi yang terjadi dalam individu terdiri dari empat proses, yaitu atensi, retensi, reproduksi motorik, dan motivasi.
Menurut Vegawati, Oki dan Noviani, (2004), Pada saat dorongan tingkah laku menyontek muncul, terjadilah proses atensi, yaitu muncul ketertarikan terhadap dorongan karena adanya harapan mengenai hasil yang akan dicapai jika ia menyontek. Pada proses retensi, faktor-faktor yang memberikan atensi terhadap stimulus perilaku menyontek itu menjadi sebuah informasi baru atau digunakan untuk mengingat kembali pengetahuan maupun pengalaman mengenai perilaku menyontek, baik secara maya (imaginary) maupun nyata (visual). 
Proses selanjutnya adalah reproduksi motorik, yaitu memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya mengenai perilaku menyontek untuk memprediksi sejauh mana kemampuan maupun kecakapannya dalam melakukan tingkah laku menyontek tersebut. Dalam hal ini, ia juga mempertimbangkan konsekuensi apa yang akan ia dapatkan jika perilaku tersebut muncul. Dalam proses ini, terjadi mediasi dan regulasi kognitif, di mana kognisi berperan dalam mengukur kemungkinan-kemungkinan konsekuensi apa yang akan diterimanya bila ia menyontek. 
Dari teori-teori tentang motivasi, diketahui bahwa cheating bisa terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi underpressure, atau apabila dorongan atau harapan untuk berprestasi jauh lebih besar dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar harapan atau semakin tinggi prestasi yang diinginkan dan semakin kecil potensi yang dimiliki maka semakin besar hasrat dan kemungkinan untuk melakukan cheating. Dalam hal seperti itu maka, perilaku cheating tinggal menunggu kesempatan atau peluang saja, seperti kita dengar iklan di televisi mengatakan tentang teori kriminal bahwa kejahatan akan terjadi apabila bertemu antara niat dan kesempatan. 
Pertimbangan-pertimbangan yang sering digunakan adalah nilai-nilai agama yang akan memunculkan perasaan bersalah dan perasaan berdosa, kepuasan diri terhadap "prestasi" akademik yang dimilikinya, dan juga karena sistem pengawasan ujian, kondusif atau tidak untuk menyontek. Masalah kepuasan "prestasi" akademik juga akan menjadi sebuah konsekuensi yang mungkin menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk menyontek. Bila ia menyontek, maka ia menjadi tidak puas dengan hasil yang diperolehnya. 
Yesmil Anwar (dalam Rakasiwi, 2007) mengatakan, sebenarnya nilai hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Karena pendidikan sejatinya adalah sebuah proses manusia mencari pencerahan dari ketidaktahuan. Yesmil Anwar mengungkapkan, bahwa menyontek telanjur dianggap sepele oleh masyarakat. Padahal, bahayanya sangat luar biasa. Bahaya buat si anak didik sekaligus untuk masa depan pendidikan Indonesia. Ibarat jarum kecil di bagian karburator motor. Sekali saja jarum itu rusak, mesin motor pun mati.
Dampak yang timbul dari praktek menyontek yang secara terus menerus dilakukan akan mengakibatkan ketidakjujuran Jika tidak, niscaya akan muncul malapetaka: peserta didik akan menanam kebiasaan berbuat tidak jujur, yang pada saatnya nanti akan menjadi kandidat koruptor. (Poedjinoegroho, 2006) 
Pengajaran yang orientasinya siswa mampu menjawab soal dan bukan pada pengertian serta pengembangan inovasi dan kreatifitas siswa akan menumbuhkan kebosanan, kejenuhan, suasana monoton yang dapat berakibat stress. Sudah waktunya sistem pendidikan kita bersifat two way communication antara guru dan siswa. Kelompok kerja makalah, presentasi, pembuatan alat peraga, studi lapangan (misalnya ke pabrik salah satu orang tua siswa) kiranya lebih digiatkan daripada menimbuni siswa dengan soal-soal yang banyak tapi dikerjakan dengan menyontek. (Widiawan,1995).
Jika masalah menyontek ini masih saja dianggap sepele oleh semua orang, tidak akan respon dan tanggapan dari guru, kepala sekolah, pengawas, dinas pendidkan para pakar pendidikan dan pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, penulis pesimis dunia pendidikan akan maju, kreatifitas siswa akan hilang yang tumbuh mungkin orang-orang yang tidak jujur yang bekerja disemua sektor kehidupan. 
Beralih kembali ke permasalahan kebiasaan menyontek dalam konteks masyarakat ialah tidak adanya penerapan budaya malu dalam menyontek. Pendidik atau guru pada saat terjebak dengan pandangan penerapan budaya malu dengan penerapan mempermalukan. Hal ini terlihat dengan adanya konsekuensi yang biasa diberikan kepada pelaku dengan mempermalukan di depan teman-temannya yang lain atau lingkungan lain atas tindakan menyontek. Penerapan budaya malu lebih kepada upaya brain washing untuk mendoktrin setiap orang bahwa menyontek adalah upaya yang sangat memalukan dan tidak memerlukan sebuah hukuman langsung terhadap pelaku. Setiap orang yang ingin menyontek akan merasa bahwa setiap orang bahkan dirinya sendiri akan mengawasi dan menghakiminya ketika dia menyontek. Suatu ironi hal ini tidak berlaku dalam masyarakat kita yang dikenal dengan mitos masyarakat yang santun, ramah, bermoral dll.
Pandangan di atas menghilangkan faktor individu sebagai sebuah permasalahan seperti pandangan bahwa seseorang menyontek karena ketidaksiapan dalam menghadapi ujian, adanya sifat pemalas pada individu maupun pandangan-pandangan lain yang lebih mengarah pada penghakiman terhadap individu. Hal ini dikarenakan penulis menyepakati sebuah anggapan bahwa bagaimanapun sebuah sistem jauh lebih penting dari pada pelaku sistem itu sendiri, pertama karena pelaku sistem adalah bagian dari sistem itu sendiri dan kedua adalah sebaik-baiknya pelaku sistem pasti akan menyesuaikan diri dengan sistem itu sendiri.
Lewis R. Aiken dalam Admin (2004) melaporkan bahwa kecenderungan melakukan ”menyontek” di Amerika Serikat meningkat sehingga tidak saja memprihatinkan dunia pendidikan tetapi juga telah menjadi bagian keprihatinan kalangan politisi. Dikatakan bahwa kasus ”menyontek” tidak hanya melibatkan siswa sebagai individu pelaku tetapi ”menyontek” disinyalir telah dilakukan oleh institusi pendidikan dengan melibatkan pejabat-pejabat pendidikan seperti guru, superintendant, school districtst dll. Pada penelitian Aiken yang ditujukan kepada kasus CAP dan CTBS (California Achievement Program dan California Test for Basic Skills), suatu ujian yang diselenggarakan oleh lembaga independen ditemukan bahwa alasan siswa melakukan ”menyontek” karena adanya tekanan yang dirasakan oleh siswa dari orang tuanya, kelompoknya, guru, dan diri mereka sendiri untuk mendapatkan nilai tinggi. Selanjutnya, alasan bagi pejabat pendidikan untuk membantu siswa dalam mengerjakan tes atau mengubah jawaban yang salah dengan jawaban yang benar sebelum lembaran jawaban diserahkan kepada lembaga penyelenggara, adalah karena hal itu menyangkut reputasi sekolah, menyangkut anggaran pendidikan yang akan dibayar oleh masyarakat. Hal itu terjadi karena hasil tes tidak saja mengevaluasi kemampuan individual siswa tetapi juga mengevaluasi reputasi dan kompetensi guru, kepala sekolah, dan pejabat pendidikan lainnya yang memiliki akuntabilitas langsung kepada masyarakat, politisi, dan kalangan bisnis.
Terlepas dari semua itu, banyak siswa yang mengakui bahwa mereka menyontek pasda saat tidak tahu jawaban dari soal-soal yang diberikan oleh guru dan termasuk saat ulangan berlangsung. Pada dasarnya koesioner tidak menyadari bahwa ketidakmapuan mereka menjawab soal ujian merupakan salah satu faktor penyebab mereka menyontek.
Ø  Pengaruh Menyontek bagi Prestasi Siswa
Dalam hubungannya dengan prestasi belajar, prestasi yang diperoleh dianggap sebagai prestasi palsu, karena diperoleh dari hasil menyontek dan menjiplak. Bukan berdasarkan aturan-aturan dasar untuk berprestasi yang terdiri dari kepandaiaan, kecerdaasan, ketanggapan, dan kerajinan berusaha. 
Fenomena menyontek sering terjadi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah atau madrasah, tetapi jarang kita dengar masalah menyontek dibahas dalam tingkatan atas, cukup diselesaikan oleh guru atau paling tinggi pada tingkat pimpinan sekolah atau madrasah itu sendiri.
Sudah dimaklumi bahwa orientasi belajar siswa-siswi di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari afektif dan psikomotor, inilah yang membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan praktek menyontek.
Dalam hubungannya dengan prestasi belajar, prestasi yang diperoleh dianggap sebagai prestasi palsu, karena diperoleh dari hasil menyontek dan menjiplak. Bukan berdasarkan aturan-aturan dasar untuk berprestasi yang terdiri dari kepandaiaan, kecerdaasan, ketanggapan, dan kerajinan berusaha. 

C.     Upaya menanggulangi perilaku menyontek

       Meskipun tenaga pengajar harus mengambil tindakan untuk mempertahankan dan mengembangkan pola perilaku dipihak siswa yang mendukung belajar disekolah, namun ia akan tetap dihadapkan pada perilaku yang menghambat dan di fromokasikan dengan siswa yang menganggu dan mengancam.
       Pada saat ini, tidak dapat disangkal bahwa guru dikelas kerap ditantang untuk mengatasi tingkah laku sejumlah siswa yang deskruftif, lebih-lebih dikota besar. Gejala umum ini bersumber pada berbagai faktor penyebab, yaitu runtuhnya disiplin hidup bersama dalam masyarakat, menipisnya kesadaran dan tanggung jawab sosial banyak kalangan, suasana sekolah yang kurang memberikan kepuasan pada siswa, rasa ketertiban sebagai tenaga kependidikan dipihak sejulah guru yang mengendor. Guru sebagai orang terdekat dalam pembelajaran disekolah, memiliki tanggung jawab membimbing siswa. Tindakan guru pada umumnya dalam pelaksanaan ujian dan ulangan dengan memberikan penguatan dan peneguhan terhadap sikap dan perilaku mereka yang positif, dimana mereka 
berusaha sendiri menyelesaikan tugasnya dengan baik dan tertib.
       Namun bila tidak ada perilaku positif yang dapat diberikan penguatan dan peneguhan maka dibutuhakan pendekatan lain yaitu:
a. Cuing Promping, yaitu siasat memberikan tanda, guru menyajikan suatu perangsang yang berfungsi sebagai pemberitahuan bahwa siswa diharapkan berbuat sesuatu yang sebenarnya dapat mereka lakukan, tetapi belum dilakukan.
b. Model, yaitu guru memberikan model yang ditiru oleh siswanya.
c. Shaping, yaitu membuat tingkah laku secara berlahan-lahan, yaitu setiap tingkah laku siswa, seperti mengatur buku, menyapa guru atau teman, cara ini memerlukan kesabaran yang sangat dari guru.
       Adapun tindakan kuratif guru, berlaku bagi siswa yang sudah terbiasa dengan contek-menyontek, dengan memberikan peringatan . bentuk kongkrit dari peringatan dapat bermacam- macam, yaitu :
a. Teguran Verbal, yaitu mendekati siswa tertentu dengan berbicara suara kecil sehingga tidak terdengar oleh teman sekelas.
b. Mengambil suatu hal yang digemari atau disukai siswa, seperti mengikuti kegiatan tertentu atau menyerahkan benda yang dipegangnya.
c. Mengisolasi siswa dari teman – temannya untuk waktu tidak terlalu lama, seperti memindahkannya diruang kosong atau tempat yang jarang dilalui orang.
d. Memberikan sanksi yang berat kepada para pelajar pencontek dan kepada semua pihak yang berperan di dalamnya.
e. Memberikan pelajaran akhlak kepada para pelajar, sekaligus menyadarkaan bahwa Allah selalu mengawasinya, sekaligus menyadarkan akan pentingnya amanah, kejujuran, serta menjelaskan hramnya perbuatan khianat, bohong, serta menipu.
f. Menumbuhkan pada diri pelajar rasa percaya diri pada diri sendiri, karena merupakan pangkal keberhasilan dan prestasi. Guru menjadikan diri sebagai teladan siswa dalam menanamkan nilai kebenaran.
       Jadi dari bentuk tindakan guru yang telah dipaparkan, guru dapat membantu siswanya untuk meninggalkan kebiasaan menyontek dalam ujian atau ulangan dengan berusaha.
a. Membentuk hubungan saling menghargai antara guru –siswa, serta menolong murid bertindak jujur dan tanggung jawab.
b. Membuat dan mendukung peraturan sehubungan dengan menyontek, karena siswa memahami peraturan dari tindakan guru.
c. Mengembangkan kebiasaan dan keterampilan belajar yang baik dan menolong siswa merencanakan, melaksanakan cara belajar siswa.
d. Tidak membiarkan siswa menyontek jika hal tersebut terjadi dalam kelas dengan teguran atau cara lain yang pantas dengan perbuatannya, sebagai penerapan disiplin.
e. Menekankan “ Belajar” lebih sekedar mendapat nilai, yaitu membantu siswa memahami arti belajar sebagai suatu tujuan mereka sekolah, dan nilai akan berarti bila murni dengan kemampuan siswa sendiri.
f. Bertanggung jawab merefleksikan “kebenaran dan kejujuran”, yaitu guru menjadikan diri sebagai teladan siswa dalam menanamkan nilai kebenaran dan kejujuran.
g. Menggunakan test subjektif sebagai dasar proses ulangan dan ujian.
       Dari uraian di atas dapat diidentifikasi bahwa ada empat faktor yang menjadi penyebab menyontek yaitu:
ü  Faktor individual atau pribadi dari penyontek.
ü  Factor lingkungan atau pengaruh kelompok.
ü  Factor system evaluasi.
ü  Factor guru atau penilai.
       Berkenaan dengan asas moral di atas, dapat ditegaskan bahwa yang terpenting dalam pendidikan moral adalah bagaimana menciptakan faktor kondisional yang dapat mengundang dan memfasilitasi seseorang untuk selalu berbuat secara moral dalam ujian (tidak “menyontek”) maka caranya adalah mengkondisikan keempat faktor di atas ke arah yang mendukung, yaitu sebagai berikut:
ü  Faktor pribadi dari penyontek
a.    Bangkitkan rasa percaya diri.
b.    Arahkan self consept mereka kea rah yang lebih proporsional
c.    Biasakan mereka berpikir lebih realistis dan tidak ambisius
ü  Faktor Lingkungan dan Kelompok
Ciptakan kesadaran disiplin dank ode etik kelompok yang sarat dengan pertimbangan moral.
ü  Faktor Sistem Evaluasi
a.    Buat instrument evaluasi yang valid dan reliable (yang tepat dan tetap).
b.    Terapkan cara pemberian skor yang benar – benar objektif.
c.    Lakukan pengawasan yang ketat.
d.    Bentuk soal disesuaikan dengan perkembangan kematangan peserta didik dan dengan mempertimbangkan prinsip paedagogy serta prinsip andragogy.
ü  Faktor Guru
a.    Berlaku objektif dan terbuka dalam pemberian nilai.
b.    Bersikap rasional dan tidak “menyontek” dalam memberikan tugas ujian / tes.
c.    Tunjukkan keteladanan dalam perilaku moral.
d.    Berikan umpan balik atas setiap penugasan.
       Menyikapi fenomena contek-menyontek dikalangan para siswa sebenarnya kita bisa saja memutus rantai itu dengan menumbuhkan imej dari remaja tersebut bahwa kita bisa solider dalam banyak hal, tetapi tidak dalam hal ujian. Dengan sikap seperti itu maka diharapkan akan meminimalisasi contek menyontek di kalangan remaja. Tumbuhkan rasa percaya diri dengan merasa puas akan hasil kerja sendiri. Mengubah kebiasaan. Mungkin pada awalnya memang bukan hal gampang, tapi kalau kita memang meniatkan dalam hati, yakinlah bahwa tak ada satu hal pun yang tidak mungkin. 

BAB IV

PENUTUP

A.     KESIMPULAN

Menyontek adalah salah satu wujud perilaku dan ekspresi mental seseorang. Ia bukan merupakan sifat bawaan individu, tetapi sesuatu yang lebih merupakan hasil belajar/pengaruh yang didapatkan seseorang dari hasil interaksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, menyontek lebih sarat dengan muatan aspek moral daripada muatan aspek psikologis.
Dalam batas-batas tertentu menyontek dapat dipahami sebagai sesuatu fenomena yang manusiawi, artinya perbuatan menyontek bisa terjadi pada setiap orang sehingga asumsi di depan yang menyatakan bahwa ada korelasi antara perilaku menyontek di sekolah dengan perilaku kejahatan seperti korupsi di masyarakat adalah terlalu spekulatif dan sulit dibuktikan secara nalar ilmiah. Meskipun demikian tak dapat disangkal bahwa menyontek bisa membawa dampak negatif baik kepada individu, maupun bagi masyarakat. Dampak negatif bagi individu akan terjadi apabila praktek menyontek dilakukan secara kontinyu sehingga menjurus menjadi bagian kepribadian seseorang.
Selanjutnya, dampak negatif bagi masyarakat akan terjadi apabila masyarakat telah menjadi terlalu permisif terhadap praktek menyontek sehingga akan menjadi bagian dari kebudayaan, dimana nilai-nilai moral akan terkaburkan dalam setiap aspek kehidupan dan pranata sosial.
Sebagai bagian dari aspek moral, maka terjadinya menyontek sangat ditentukan oleh faktor kondisional yaitu suatu situasi yang membuka peluang, mengundang, bahkan memfasilitasi perilaku menyontek. Seseorang yang memiliki nalar moral, yang tahu bahwa menyontek adalah perbuatan tercela, sangat mungkin akan melakukannya apabila ia dihadapkan kepada kondisi yang memaksa.
Mencegah menyontek tidaklah cukup dengan sekedar mengintervensi aspek kognitif seseorang, akan tetapi yang paling penting adalah penciptaan kondisi positif pada setiap faktor yang menjadi sumber terjadinya menyontek, yaitu pada faktor siswa, pada lingkungan, pada sistem evaluasi dan pada diri guru.
Oleh karena setiap orang berpotensi untuk melakukan menyontek dan terdapatnya gejala kecenderungan semakin maraknya praktek menyontek di dunia pendidikan, maka perlu segera dilakukan review atau reformulasi sistem atau cara pengujian, penyelenggaraan tes yang berlangsung selama ini baik yang diselenggarakan secara massal oleh suatu badan atau kepanitiaan maupun yang diselenggarakan secara individual oleh setiap guru.
Dengan Pemaparan dan Isi karya tulis diatas dapat disimpulkan bahwa menyontek dapat berpengaruh bagi prestasi siswa kelas XI SMA N 1 CEPU.

B. SARAN

a. Pemberian tes lisan ini dilakukan penulis secara bertahap, tidak sekaligus pada waktu ulangan atau ujian, karena cara ini menggunakan waktu yang lama. Disamping itu tes tulisan juga masih digunakan sebagai pembanding kemampuan siswa-siswi
Penulis mengharapkan ada kesepakatan bersama semua komponen yang terlibat langsung dalam dunia pendidikan untuk memerangi masalah menyontek atau cheating bagi pelajar dalam ulangan atau ujian yang diberikan oleh guru, sekolah maupun pemerintah (Ujian Nasional). Karena sistem sekarang ini masih menggunakan penilaian nasional, maka yang terpenting kita sebagai subyek pendidikan yang berlaku jujur dalam mengelola pendidikan. Guru dalam menilai harus jujur, pengawas harus jujur mengawasi para siswa, kepala sekolah harus jujur dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Jangan malu dan takut dikatakan gagal meluluskan siswa-siswinya dalam ujian.
b. Menyikapi fenomena contek-menyontek dikalangan para siswa sebenarnya kita bisa saja memutus rantai itu dengan menumbuhkan imej dari remaja tersebut bahwa kita bisa solider dalam banyak tetapi dalam ujian, kita kerja sendiri-sendiri dengan sikap seperti itu maka diharapkan akan meminimalisasi contek-menyontek di kalangan remaja. Tumbuhkan rasa percaya diri dengan merasa puas akan hasil kerja sendiri. Mengubah kebiasaan. Mungkin pada awalnya memang bukan hal gampang.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Alhadza. "Masalah Perilaku Menyontek (cheating)  Di Dunia Pendidikan".http://depdiknas.go.id/jurnal/38 . Diakses pada tanggal 25 Januri 2008.
Burns, S.R., Davis, S.F,. Hoshino, J., Miller, R.L. 1988. "Academic Dishonesty: A Delineation of Cross-cultural Patterns". College Students Journal, 32 (4), 590-597.
Caroli, C.A. 2004. "Cheating is Pervasive Problem in Education, Forum Participants say". Education Week, 23 (24), 10.
Davis, S.F.,Grover,C.A., Becker,.A.H. &McGregor,L.N. 1992. "Academic dishonesty: Prevalence, Determinants, Techniques and Punishmenta". Teaching of Psychology, 19 (1), 16-20.
Houston, J.P. 1987. ”Curve linear Relationship among Anticipated Success, Cheating Behavior, Temptation to Cheat, and Perceived Instrumentality of Cheating”. Journal of Educational Psychology,70, (5),  758-762.  
Klein,H.A., Levenburg, N.M., McKendall,M., & Mothersell,W.. 2007. ”Cheating During the College Years: How do Business School Students Compare?”. Journal of Business Ethics, 72 (10), 197-206.
Lim dan See. 2001. ”Attitude Toward, and Intentions to Report, Academic Cheating among Students in Singapore”. Ethics and Behavior Journal, 11 (3), 261-275. 
Lobel dan Levanon. 1988. ”Self-esteem, Need for Approval and Cheating Behavior in Children. Journal of Educational Psychology, 80 (1), 122-123.
Newstead, S.E., Stokes, A.F., & Armstead, P. 1996. ”Individual Difences in Student cheating". Journal of Educational Psychology, 88, (2), 229-241.
Santoso, T. 1991. Menyontek Bukan Seni. Dalam Kartini Kartono (ed.). Bimbingan Bagi Anak Remaja yang Bermasalah. Jakarta: Rajawali Press.
Sujana. 1994. ”Hubungan Antara Kecenderungan Pusat Kendali Internal dengan Intensi Menyontek”. Jurnal Psikologi, Vol. 21. h. 18
Widiawan, Kiswanto. "Menyontek Jadi Budaya Baru" Pokok Pikiran 2 Karya Wiyata 72 Tahun XVIII September-Oktober 1995. Diambil darihttp://depdiknas.go.id/jurnal/38 
Witley, B.E. 1998. ” Factors Associated With Cheating Among college students: A review”. Research in Higher Education, 39(3).